Kehadiran salah satu alumni Politeknik Perikanan Negeri Tual (Polikant), George Koljaan, dengan kelompok budidaya perikanannya, Salterai, bisa saja menjadi jawaban untuk mengembalikan kejayaan Kei sebagai produsen teripang di dunia.
Tual, suaradamai.com – Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda pada tahun 1850 mengekspor sebanyak 35 ton teripang dari Kepulauan Kei ke Negara China.
Catatan singkat sejarah ekspor teripang ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teripang di Kei sudah terjadi sejak lama. Sekitar 173 tahun kemudian atau hari ini, masyarakat di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara masih menangkap salah satu komoditas ekonomis perikanan itu.
Sayangnya, teripang di Nuhu Evav kini seperti hewan yang langka. Penangkapan berlebihan dan tidak mempertimbangkan ketersediaannya di alam membuat hewan yang satu ini mulai sulit ditemukan secara alami.
Jika ditangkap, itu pun dalam jumlah sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tenggara bahkan tidak memasukkan teripang dalam rekapan tahunan produksi perikanan (Tidak ada data tentang teripang dalam Kabupaten Maluku Tenggara Dalam Angka 2022). Artinya dapat disimpulkan bahwa produksi teripang di Kei sangat rendah.
Padahal, harga dan permintaan teripang di pasaran dunia sangat tinggi. Harga internasional teripang berkisar 200-1.000 dolar Amerika Serikat atau sekitar 3-15 juta rupiah (kurs Juli 2023). Sementara menurut Business Insider, harga teripang di dunia bisa mencapai 3.000 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp45 juta mengikuti kurs Juli 2023.
Penggiat konservasi teripang
Kehadiran salah satu alumni Politeknik Perikanan Negeri Tual (Polikant), George Koljaan, dengan kelompok budidaya perikanannya, Salterai, bisa saja menjadi jawaban untuk mengembalikan kejayaan Kei sebagai produsen teripang di dunia.
Rasanya berat, tetapi itulah visi Koljaan dengan kelompok Salterai-nya.
George Koljaan, akrab disapa Coken, lahir di Desa Ohoitel, Kecamatan Dullah Utara, Kota Tual. Ia menempuh pendidikan SD dan SMP Kristen di Desa Ohoitel, kemudian di SMA Negeri 1 Kei Kecil (kini SMA Negeri 2 Maluku Tenggara). Pada tahun 2011, Coken lulus sebagai Ahli Madya Perikanan (A.Md) dari Politeknik Perikanan Negeri Tual (Polikant).
Lulusan Agribisnis Perikanan Polikant itu tidak menyangka saat ini lebih banyak beraktivitas sebagai pembudidaya.
Coken menuturkan, perjalanan menjadi penggiat konservasi teripang bermula dari diskusi-diskusi bersama salah satu Dosen Polikant, Pitjont Tomatala. “Beliau merangkul kami beberapa orang dan membentuk sebuah kelompok yang bernama ‘Salterai’, berarti garam dunia,” tutur Coken, yang adalah Ketua Kelompok Salterai.
Dari situ, Coken dan kawan-kawan memantapkan visi untuk memulihkan populasi teripang di Kepulauan Kei dengan jalan konservasi.
Salterai telah membudidayakan teripang sejak 2018. Pada Agustus 2021, bekerja sama dengan Dinas Perikanan Tual, PT. Pertamina, dan Polikant, kelompok Salterai membangun Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Di dalamnya ada fasilitas bak budidaya, rumah jaga, dan ruangan laboratorium.
Kelompok yang kini menjadi binaan Pertamina itu, tiap tahun mendapat bantuan CSR dari Pertamina dalam mendukung visinya untuk konservasi. Tercatat hingga kini, Salterai telah memproduksi sekitar 8.500 benih.
Mereka melakukan pembenihan sendiri. Mulai dari mengumpulkan induk, mengawinkan induk jantan dan betina, memelihara hingga ukuran 5 cm ke atas baru dipindahkan ke wadah pembesaran atau ke alam.
“Kami sudah tebar sebanyak 7.000 ekor benih ukuran 5 cm ke atas di tiga penkultur (wadah budidaya teripang) di Ohoitel. Dan 1.500 ekor ditebar secara alami di Teluk Un, Taar,” ungkap Coken.
Minta dukungan semua pihak
Selain untuk tujuan konservasi, Kelompok Salterai berharap usaha ini memiliki dampak ekonomi bagi masyarakat di Kepulauan Kei.
Sebab itu, ia meminta dukungan semua pihak. Terutama bagi Pemkot Tual, Coken berharap pemerintah membuat sebuah peraturan daerah (Perda) tentang huwear atau sasi, untuk mendukung pelaksanaan konservasi teripang di alam.
Ia juga berharap kepada generasi muda Kei agar turut memanfaatkan potensi sumber daya laut.
“Laut kita ini luas. Lebih besar dari daratan. Kalau bisa kita memanfaatkan laut kita ini sebagai sumber kehidupan yang sudah diberikan oleh Tuhan dan leluhur,” pungkas Coken.
Editor: Labes Remetwa
Baca juga: