Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal, Sistem Pemerintahan Desa yang Diterapkan di Tual

Ikuti suaradamai.com dispot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ada hal unik dari sistem pemerintahan desa/ohoi/finua di Kota Tual. Kepala desa/ohoi/finua di Bumi Maren itu diwariskan secara turun temurun. Meski demikian, tetap melalui proses pemilihan.


Tual, suaradamai.com – Akhir tahun ini, Pemerintah Kota Tual, Maluku, akan menggelar Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak untuk 10 desa/ohoi/finua yang masuk dalam gelombang pertama Pilkades.

Berbagai persiapan pun telah dilakukan. Mulai dari tahapan sosialisasi, dan terakhir adalah rapat panitia Pilkades yang digelar di Aula Balai Kota, pada Rabu (8/6/2022) lalu.

Rapat tersebut bertujuan memilih panitia Pilkades tingkat kota dan melakukan persiapan Pilkades yang akan dihelat pada 1 Desember mendatang.

Ada hal unik dari sistem pemerintahan desa/ohoi/finua (selanjutnya disebut ohoi/finua) di Kota Tual. Kepala ohoi/finua di Bumi Maren itu diwariskan secara turun temurun. Meski demikian, tetap melalui proses pemilihan.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kota Tual Gufroni Rahanyamtel menjelaskan, sistem pemerintahan desa di Tual merupakan perpaduan demokrasi-monarki.

“Monarki karena calon kepala ohoi/desa itu merupakan marga/riin/fam yang punya hak (secara adat). Jadi katong rakyat di Tual hanya punya hak memilih, tapi hak dipilih itu hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang, istilah kerajaan disebut dengan pewaris tahkta,” papar Rahanyamtel.

Pewaris takhta ini, lanjut Rahanyamtel, tidak memiliki kriteria yang baku. Ada ohoi/finua yang lebih dari satu marga memiliki hak sebagai pewaris, ada yang hanya satu marga, ada yang satu marga tetapi punya garis keturunan tertentu.

“Karena itu, itu (kriteria pewaris takhta) tidak ditetapkan dalam peraturan daerah dan dikembalikan ke kearifan lokal ohoi masing-masing,” jelas Rahanyamtel.

Lebih lanjut Rahanamtel menjelaskan, calon kepala ohoi/finua pada salah satu ohoi/finua, dianjurkan agar ada lebih dari satu calon sehingga dapat dilakukan proses pemilihan.

“Calon itu harus paling sedikit dua, paling banyak lima,” kata Rahanyamtel.

Apabila, pada satu ohoi atau finua tertentu hanya ada satu calon atau calon tunggal, maka dilakukan penundaan selama 20 hari sampai ada calon tandingan. Namun, jika sampai 20 hari masih tetap calon tunggal, maka langsung diajukan ke Wali Kota.

Dalam proses, jika masyarakat menghendaki hanya satu calon, maka calon itu bisa dilantik oleh Wali Kota menjadi kepala ohoi/finua.

Sementara apabila bakal calon lebih dari lima, maka akan dilakukan penyaringan hingga hanya lima calon.

Untuk diketahui, sistem pemerintahan ohoi/finua di Tual ini agak berbeda dengan yang diterapkan di daerah kembarnya, Kabupaten Maluku Tenggara.

Meski memiliki adat yang sama, yakni adat Kei, Pemkot Tual telah melakukan sedikit perubahan terhadap sistem pemerintahan desa.

Sebab, di Kabupaten Maluku Tenggara, calon kepala ohoi hanya ditunjuk oleh riin kot (marga). Selanjutnya diproses menjadi kepala ohoi tanpa melalui pemilihan yang melibatkan seluruh warga.

Editor: Labes Remetwa


Baca juga:

Ikuti suaradamai.com dispot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ronald Tethool

Sosok inspiratif yang berhasil memajukan pariwisata Ngurbloat, Kepulauan Kei, Maluku.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

KOMENTAR TERBARU