Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) sebagai solusi di tengah pandemi Covid-19, lebih jauh menguntungkan daerah yang fasilitas pendukung pendidikannya memadai.
Judul di atas bukan hanya sebagai pemanis tulisan, agar pembaca tertarik untuk membaca tulisan ini. Judul pada tulisan ini mewakili perasaan saya sebagai pemuda Maluku, yang prihatin akan buruknya kualitas pendidikan di Maluku. Saya begitu yakin bahwa hanya dengan pendidikan, seorang anak di pelosok timur Indonesia bisa melihat dunia lebih luas. Lebih daripada itu, bisa mengangkat nama masyarakat Maluku agar tidak menjadi “anak tiri” di pangkuan Ibu Pertiwi.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan daerah lain. Para pejabat dan pemegang kekuasaan di negeri ini, jangan sampai melupakan sejarah akan pengorbanan Bangsa Maluku dalam memperjuangkan Indonesia melawan penjajah, serta setia membersami kemerdekaan hingga sekarang ini.
Cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 harus dijamin oleh pemegang kekuasaan, agar supaya dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, terlebih khusus masyarakat Maluku yang berpuluhtahun lamanya berada di zona kemiskinan, serta kualitas pendidikannya yang terus memprihatinkan.
Sesuai dengan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan negara wajib membiyainya. Berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan wajib membiayai pendidikan bagi warga negara.
Menyelenggarakan pendidikan berarti negara harus menyediakan tempat atau sekolah, pendidik, sarana dan prasarana sehingga kegiatan belajar-mengajar bisa berjalan. Membiayai pendidikan berarti negara harus menyediakan dana atau anggaran agar kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan pendidik, pengajar, sekolah dan sarana yang ada bisa terealisasi.
Karena pendidikan merupakan hak warga negara, maka tidak boleh ada pembatasan kepada setiap warga negara untuk mendapatkannya. Dalam hal ini, tidak boleh ada ketimpangan penyelenggaraan yang dihasilkan oleh sistem pendidikan kita. Lebih jauh lagi, tidak boleh ada “deskriminasi” pendidikan terhadap masyarakat, baik itu yang tinggal di kota atau di kepulauan, apakah mereka orang miskin atau orang mampu, negara wajib menyediakan layanan pendidikan.
Kenapa Mendikbud Harus Orang Maluku?
Kalau ditanya kenapa saya begitu subjektif dengan memberi judul seperti itu, karena ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut. Tentu berawal dari keresahan terhadap kebijakan Mas Mentri yang menurut saya hanya akan menambah ketimpangan pendidikan di daerah Kepulauan, terlebih lagi di Maluku. Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) sebagai solusi di tengah pandemi Covid-19, lebih jauh menguntungkan daerah yang fasilitas pendukung pendidikannya memadai.
Kalau pembelajaran online itu diberlakukan di Maluku, yang notabane siswanya tidak mampu membeli gadget, lalu apa faedahnya sistem pendidikan itu diterapkan? Mungkin kita bisa berasalan dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sudah dialokasikan untuk membeli pulsa dan paket internet untuk siswa. Tetapi untuk paket internet dan pulsa jika gadget sebagai sarana utama tidak dimiliki siswa.
Saya berkhusnudzon saja, mungkin ketika membuat kebijakan belajar online ini, Mas Mentri kita benar-benar tidak lupa, bahwa siswa-siswi di Maluku hampir sebagiannya tidak mampu membeli gadget karena hidup dalam keluarga yang berada di garis kemiskinan. Saya kira itu baru satu alasan, belum lagi dengan tenaga pendidik dan sekolah yang tidak memiliki kapasitas penunjang pembelajaran online.
Untuk alasan ini, saya begitu subjektif mengusulkan agar Mentri Pendidikan dan Kebudayaan di Negara yang tercinta ini baiknya orang Maluku saja. Agar supaya segala kebijakan yang dibuat bisa melihat keresahan orang Maluku dan Indonesia Timur secara umum. Jangan sampai terus terpupuk dalam benak Masyarakat kita di Timur Indonesia sini, bahwa pendidikan yang baik itu hanya ada di Jawa. Tentu hal ini tidak diiginkan oleh siapapun.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan kepada para pengelola pendidikan di Negeri ini. Bahwa bijaklah dalam menghasilkan suatu keputusan. Jangan sampai dilandasi dengan pemakluman terhadap satu kondisi daerah sehingga kebijakan yang dihasilkan pun “setengah hati” dan tidak melihat kondisi daerah tersebut.
Pendidikan harus dirasakan oleh seluruh anak bangsa, penyelenggaraannya harus adil untuk semuanya. Saya yakin dengan begitu pendidikan kita akan maju dan menghasilkan penerus bangsa yang cerdas dan mencerdaskan di masa depan.
*Opini ini merupakan tanggungjawab penulis seperti tertera. Tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi suaradamai.com.