Mengenang momen 78 tahun.
Seperti sebuah bisikan rohani, tanpa basa basi kami bersepakat bergerak menuju taman Ziarah melewati jalan via dolorosa – jalan kesengsaraan. Di bawah pimpinan Jimy Renyut, sampailah kami di makam para Martir. Kamipun termenung menatap daun-daun yang jatuh gugur bertemu debu jalanan akibat ditiup angin. Di sebelah laut ada sebuah salib Kristus tertancap kokoh. Kami semua bergegas ke sana. Lalu di bawah kaki salib itu sahabatku yang lain sujud khusyuk berdoa. Saya dan Jimy kemudian menuju pelabuhan misi yang suda lama tak digunakan. Kami memilih posisi paling ujung pelabuhan yang tengah dipugar. Di depan itu ada tumpukan batu tua dan air laut berwarna coklat, juga ada aktifitas kapal nelayan dan speed boat yang sibuk berlalu lalang turut menghiasi pemandangan. “Awas tentara Jepang muncul tiba-tiba dari air, katong hilang jalan,” begitulah candaan Jimi. Kamipun tertawa. Diskusi berlanjut ditemani sebungkus rokok. Kami bercerita dengan logika dan analisa. Saya kemudian bertanya tentang kisah Langgur yang beragama Khatolik dan Tragedi 30 Juli 1942. Kali ini tak lagi lucu, ia berbalik badan menatapku dalam-dalam, sejenak terdiam lalu keluhkan luka.
Berawal dari tinta Emas Adolf Langen, Misi Gereja Katolik diterima oleh Warga Kampung Langgur di bawah pimpinan Januaris Mamten Renyut yang adalah Raja Fa Ohoisiuw, yang juga dianugrahi tongkat perak oleh Ratu Belanda, Wilhelmina. Layaknya Vatikan Kecil, Langgur kemudian jadi Pusat Misi Gereja Khatolik dan berkembang pesat hingga pesisir Selatan Papua bahkan Fiji, Kepulauan Salomon, Australia dan Selandia Baru. Kemudian tahun 1942, Jepang masuk di Maluku dan terjadi konspirasi untuk melululantakan misi Khatolik.
Hari itu, tanggal 30 Juli 1942 sebelum suara burung bersukacita menyambut mentari, saat warga masih pulas tertidur. Saat itu pula tentara Nipon Jepang menjalankan hukumannya tanpa sebuah proses peradilan resmi. Dari arah pemukiman Watdek, hentakan kaki serdadu terdengar bergerak dituntun oleh dua orang pribumi melewati jalan berumput menuju kampung Langgur. Berhadapan di pos penjagaan kampung Langgur Mathias Dumatubun tewas tertembak tanpa ada tanya. Serdadu Jepang itu mulai melakukan penggeledahan di rumah kepala Kampung Agustinus Renyut, pewaris Tahkta Bapaknya Januaris Mamten Renyut. Tangan-tangan tak kelihatan mulai mengatur jurus berikutnya , tentara Nipon itu kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan secara membabi buta menggencarkan aksi kejinya. Tak terima dengan itu, Hendrikus Ladjaran Dumatubun yang muda kekar kemudian mencoba membuat perlawanan. Namun naas, nasibnya di ujung bedil. Suara bedil itu memecahkan kesunyian. Kampung Langgur mulai mencekam. Warga berlari bersembunyi dan minta perlindungan. Terdengar suara Ibu-ibu yang menjerit dan anak-anak yang panik mencari orang tuanya.
Mereka kemudian menuju sebelah pantai. Sekelompok pria kulit putih kemudian ditarik paksa keluar dari dalam ruangan dengan posisi tangan terikat. Mereka diantar kemudian membentuk barisan panjang. Dengan mata tertutup, mereka diperhadapkan dengan kepungan moncong senjata, lalu dorr…… Sementara itu keluar dari mulut Pastor Berns sebuah pekikan lantang penuh iman, “Untuk Kristus Raja Kita, Jadilah!” Darah mereka kemudian terpancar kencang ke tanah, dan terbujur kaku tanpa nyawa. Dengan tega mayatnya itu dibuang ke Laut, terapung hingga berhari-hari lalu membusuk. Mayat yang berserakan itu adalah Mgr. Johanis Aerts mengenakan Jubah Merah kebesaran ditemani 12 pria perkasa dengan balutan jubah hitam yang mendaraskan rosario di dadanya.
Belum selesai sampai di situ, kelompok nipon mendatangi biara susteran. Dengan bahasa tak jelas tetapi nada tegas mendobrak pintu, memaksa masuk kemudian menghunus bayonet membantai para suster tanpa ampun. Terdengar suara jeritan kematian melengking, menyayat menembus pagi yang masih buta. Dewa kematian rupanya masih berpesta pora merasuki jiwa para serdadu nipon yang bengis. Jasad-jasad tak berdosa itu diseret dan lempar tak beraturan ke halaman.
“Kakekku Agustinus diseret Paksa . Jasadnya pun hilang. Pusaranya entah di mana, apakah di tengah laut atau dikubur hidup-hidup,” ujar sahabatku Jimy dengan suara terbata-bata sambil mengusap air matanya yang makin deras mengalir.
Masih ada 100 pertanyaan yang mau kutanyakan, tak sampai hati aku melihat kesedihan mendalam dari sahabat dekat ku ini. Aku hanya menepuk-nepuk bahunya sambil menarik nafas panjang.
“Ada aroma konspirasi dan penghianatan atas tragedi ini. Tapi biar perjalanan sejarahlah yang akan mengungkapkan fakta ini,” ujar mantan Ketua KNPI sambil menghisap kretek kebanggaan yang tinggal setengah.
Walau murkah masih tersentuh dan kesedihan masih menari-nari di hatinya. Aku terpaksa berdiri menarik lengan kanannya, menyudahi expedisi kecil dalam cerita duka tanah moyangnya.
Editor: Labes Remetwa