
Dalam bahasa lokal disebut, “afyaf”. Warga di Kecamatan tetangga, Tayando-Tam, menyebutnya “vor-vor”.
Tual, suaradamai.com – Setiap orang yang berkunjung ke pulau-pulau Kur, Kota Tual, tidak asing dengan “lutak-lutak”.
Bahkan di Kepulauan Kei, Maluku, orang yang hendak ke Bumi Makara itu pasti dipesankan ole-ole lutak-lutak.
Lutak-lutak merupakan makanan khas masyarakat Kur (Kecamatan Pulau-pulau Kur dan Kur Selatan). Dalam bahasa lokal disebut, “afyaf”. Warga di Kecamatan tetangga, Tayando-Tam, menyebutnya “vor-vor”.
Makanan yang satu ini biasanya disajikan untuk sarapan atau snack sore.
Lutak-lutak merupakan campuran dari “enbal” dan kenari. Cara pembuatannya sederhana, tinggal disangrai, dicampurkan, dan digiling/ditumbuk.
Buah kenari dijemur selama 2-3 hari. Kemudian dagingnya dilepas dari cangkang. Enbal atau singkong disangrai hingga garing. Setelah itu kenari dan enbal dicampur dan digiling/ditumbuk hingga halus. Dalam proses ini, biasanya ditambahkan sedikit gula untuk menambah rasa manis. Jadilah lutak-lutak.
Secara tradisional, Afyaf yang sudah siap, dibungkus dengan daun pisang. Lutak-lutak bisa bertahan 2-3 bulan.
“Ini orang Jawa, Bugis, Maluku sampai Papua juga suka makan (lutak-lutak) ini,” kata tokoh agama Desa Finualen Dailo Maswatu kepada Suara Damai, 30 Mei 2021.
Editor: Labes Remetwa
Lutak-lutak bisa bertahan 2-3 bulan.