Oleh Dwison Andresco Renleeuw, Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Email: dwisonandresco@gmail.com
Gereja merupakan persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Ia berperan untuk melanjutkan misi yang telah dimulai oleh Kristus sebagai guru utama. Gereja menjadi penyelamat, pembebas bagi mereka yang tertindas, dan pewarta kabar gembira bagi mereka yang mengalami kesedihan.
Kehidupan Gereja dari dulu sampai sekarang selalu diwarnai dengan dinamika hidup manusia. Perjalanan manusia ini tidak terlepas dari perjuangan politik negara-negara yang tidak sedikit memakan korban kemanusiaan. Atas dalil perjuangan dan kedaulatan negara, unsur kemanusiaan menjadi substansi yang bisa dilecehkan, diinjak, dibuang, dan dikorbankan. Akhirnya, perjalanan negara itu merupakan perjalanan tragedi kemanusiaan. Di tengah realitas itulah Gereja hidup.
Gereja juga berjalan berdampingan dengan fenomena kemanusiaan yang miris. Ia menampakkan dirinya ketika ada sekelompok penguasa menindas manusia lain. Bahkan ia berkomplotan dengan pihak penguasa atau menjadi bagian dari kekuasaan. Hal ini seakan memperlihatkan persetujuan Gereja terhadap penindasan. Historisitas Gereja menampilkan posisinya berada pada dua kursi yakni kursi mewah kekuasaan dan kursi yang dilumuri darah penindasan kemanusiaan. Di sini, Gereja semacam berdiri pada dua sisi yang kontradiktoris. Dua sisi itu merupakan dua sisi pada mata uang yang sama. Hubungan kedua sisi itu merupakan hubungan kausalitas. Posisi Gereja yang dualistis tersebut harus dan mesti dipertanyakan secara tegas. Oscar Romero menjawab pertanyaan terhadap posisi Gereja pada masanya di tengah situasi krisis kemanusiaan. Oleh karena itu, kita akan melihat ketegasan posisi Gereja di tengah realitas dunia dengan berkaca pada film Oscar Romero.
Menggugat posisi Gereja: Berpihak atau Netral?
Film Oscar Romero menarik untuk ditonton. Dari Film ini, kita akan mengetahui perjuangan dan posisi Gereja pada masanya. Penulis merasa tergugah untuk mendalami satu pernyataan dalam adegan itu. Pernyataan yang disampaikan oleh seorang uskup, “Gereja selalu menjadi pengaruh yang menstabilkan. Jika kita meninggalkan peran ini sekarang, apa yang akan terjadi?”
Pernyataan demikian merupakan suatu bentuk argumentasi yang disampaikan oleh seorang uskup kepada Romero, Uskup Agung El Savador. Pernyataan itu diungkapkan untuk memprotes keputusan yang hendak diambil oleh Oscar Romero. Oscar Romero memutuskan untuk mengadakan misa penghormatan terhadap romo Grande dan dua lainnya yang mati ditembak oleh pasukan militer di bawah komando Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez. Namun, keputusan itu tidak seperti biasanya karena pengadaan misa hanya dilakukan pada satu tempat yakni Katedral. Oscar Romero bermaksud agar dengan misa itu, semua orang turut berdukacita bersama atas kematian Romo Grande dan dua lainnya. Hal itu juga dimaksudkan untuk membangkitkan kemarahan rakyat dalam menggalangkan revolusi. Atas dasar itu, pertemuan internal para uskup berada pada tiga kubu yakni mereka yang menerima, mereka yang menolak, dan mereka yang tidak menentukan pilihan.
Para uskup yang menolak keputusan Uskup Agung Romero berpegang pada suatu pandangan umum bahwa Gereja menjadi pengaruh yang menstabilkan kedua kubu yang sedang bermasalah yakni para penindas (politik) dan korban. Mereka memilih untuk berada pada jalan tengah ketika banyak para pembunuh memakan banyak jiwa tanpa salah. Mereka menganggap bahwa menerima keputusan Oscar Romero merupakan suatu bentuk pernyataan politik. Bertolak dari pandangan umum tersebut, mereka menilai bahwa persetujuan akan hal itu berarti berpihak pada satu kubu yakni para korban. Keberpihakan tersebut tentu bertentangan dengan pandangan umum yang mereka pegang.
Penolakan terhadap keputusan Oscar Romero berakar pada pandangan bahwa Gereja berperan sebagai penengah, penstabil, penetral, dan pereda ketegangan yang terjadi pada umat. Mereka yang berpegang pada pandangan ini akan merasa bahwa tidak ada masalah ketika ada banyak korban yang mati sia-sia karena ditindas. Penolakan mereka terhadap keputusan Romero bersembunyi dibalik dalil batas-batas antara Gereja dan politik. Konsekuensinya, mereka akan berdiam ketika atas nama politik banyak nyawa anggota Gereja yang melayang.
Mereka tidak berani untuk menanggung konsekuensi atas keberpihakan terhadap para korban. Pernyataan ‘apa yang akan terjadi?’ menunjukkan suatu penolakan untuk menerima tanggung jawab dari pilihan itu. Oleh karena itu, mereka lebih memilih jalan tengah yaitu tidak berpihak atau tidak terlibat dalam persoalan itu. Mereka lebih memilih untuk berada pada zona nyaman, tidak berpihak, berdiam, dan bermati rasa. Dalam kondisi seperti ini, pantaskah Gereja diklaim sebagai Gereja yang hidup?
Gereja dan Kontekstualitas Masa Kini
Pada masa- tertentu, Gereja memiliki dinamika dan warna tersendiri. Pada masa silam, Gereja tidak memiliki batasan yang jelas dengan bangku kekuasaan politik. Sekarang, nuansa itu tidak terlihat. Namun, Gereja masih dan akan terus menghadapi tantangan sesuai zamannya.
Pada masa kini, Gereja berjalan dalam arus perkembangan teknologi yang amat masif. Perkembangan teknologi ini akan berdampak pada Gereja baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak teknologi itu bisa saja melemahkan iman anggota Gereja karena sugesti tawaran teknologi yang tak tersaring. Gereja juga dipaksa untuk berefleksi apakah ia terus berpegang pada pandangannya yang dianggap konservatif di hadapan era modern yang serba instan atau tetap mempertahankan cara beradanya yang lama.
Lebih lanjut, kecanggihan teknologi justru melahirkan banyak persoalan-persoalan. Kecanggihan teknologi dan modernitas suatu negara menjadi tolak ukur labelitas kemajuan untuk suatu negara. Dengan itu, atas nama kemajuan, pembangunan-pembangunan bertaraf modern ditampakkan ke permukaan. Proses pembangunan itu turut menciptakan masalah-masalah baru di antaranya pertambangan, deforestasi, penggusuran pemukiman warga, peralihan lahan pertanian, dan privatisasi fasilitas-fasilitas umum. Permasalahan-permasalahan itu tidak sedikit menciptakan korban. Masalah yang berpangkal pada dalil pembangunan tersebut tampak pada banyaknya masyarakat yang kehilangan lahannya, kemiskinan yang terus meningkat dan bertambah, juga kematian akibat melawan pihak-pihak yang berkuasa atau para ‘perampok’. Inilah fenomena kemanusiaan yang terjadi saat ini.
Pada masa Oscar Romero, Gereja berjalan di antara rakyat yang sedang berjuang melawan penindasan yang dilakukan negara dengan kekuatan militer. Pada masa kini, Gereja juga berjalan di antara negara (oligarki, kapitalis) dan rakyat yang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Dengan kata lain, saat ini Gereja tengah dipertontonkan dengan adegan kehidupan perjuangan rakyat miskin melawan arogansi kaum kapitalis/birokrasi yang menciptakan jurang antara kaya dan miskin terlampau jauh. Dalam kondisi seperti ini, posisi Gereja berpihak kepada siapa?
Hemat saya, Gereja masih berpegang pada romantisme pandangan umum masa lalu bahwa Gereja berperan sebagai penengah. Ia berfungsi sebagai penyeimbang ruang ketegangan antara dua kubu yang berpolemik. Gereja masih berpegang pada prinsip bahwa keselamatan yang ia wartakan ke tengah dunia diperuntukkan bagi semua orang. Karena itu, ia kurang tegas menentukan sikapnya untuk berpihak kepada korban dan melawan pelaku. Gereja kurang tegas untuk berada bersama umat untuk menolak pembangunan tempat pariwisata yang merampas lahan warga dan merusak lingkungan hidup, misalnya. Gereja mendengungkan dalil pariwisata holistik untuk menstabilkan polemik yang ada dan berdiri pada jalan tengah dengan dalil itu.
Pada masa kini, Gereja masih samar-samar dalam mewartakan kabar gembira itu. Gereja sibuk menjaga kesuciannya dalam gedung gereja dan menutup telinga pada jeritan umat yang ditindas secara halus oleh mereka yang memiliki uang dan kuasa. Gereja tidak berani mengambil sikap karena ia menganggap dirinya sebagai pewarta kabar gembira bagi semua orang. Dengan itu, ia mengklaim diri sebagai pihak netral dan tidak mau berpihak.
Dengan berpegang pada pandangan itu, Gereja tetap membangun ‘perkoncoan’ dengan kaum kapitalis atau para pelaku. Relasi itu membuat Gereja tak mampu menyuarakan suara dari mereka yang tak mampu bersuara. Ia akan berpura-pura tidak mengetahui polemik yang sedang dialami oleh rakyat untuk menghindarkan diri dari penentuan sikap keberpihakannya.
Sikap ketidakberpihakan Gereja itu justru menyangkal hakikat dirinya sendiri. Gereja yang adalah persekutuan orang-orang beriman untuk melanjutkan misi Kristus seharusnya mengikuti cara hidup Kristus sendiri. Kristus sendiri berpihak pada mereka yang lemah. Ia berpihak pada korban ketidakadilan. Dengan itu, kabar gembira yang ia wartakan merupakan kabar gembira yang tepat sasar yakni untuk mereka yang menderita. Namun, melihat posisi Gereja pada masa kini, kita dapat bertanya seperti apakah model kabar gembira yang digaungkan oleh Gereja saat ini?
Menurut saya, selama Gereja tidak berpihak pada korban, ia bukanlah pembawa kabar gembira. Kabar gembira bukan merupakan suatu kabar gembira ketika hal itu dikabarkan bagi mereka yang sudah terlebih dahulu gembira oleh karena uang dan kekuasaan yang dirampas dari rakyat. Kabar gembira hanyalah menjadi suatu kabar gembira tatkala digaungkan pada mereka yang sedang menangis merasakan penindasan. Kabar gembira hanya akan menjadi kabar gembira jika itu didengungkan bagi mereka yang sedang menderita ketidakadilan. Oleh karena itu, Gereja tidak bisa tidak berpihak pada korban. Ia harus mampu menunjukkan hakikat dirinya sebagai pembawa kabar gembira atau sukacita, pembebas dan penolong bagi umat. Ia tidak boleh merasa nyaman di tengah badai kemanusiaan melanda rakyat kecil. Ia tidak boleh berdiam terhadap kaum kapitalis di tengah mereka yang menciptakan jurang antara kaya dan miskin semakin melebar. Dengan demikian, Gereja saat ini mesti belajar dari Oscar Romero yang turut berpihak dan berjuang bersama rakyat yang sedang ditindas oleh kekuasaan.
*Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Suaradamai.com.