Kami sekeluarga baru saja selesai menjalani isolasi mandiri. Kendati melewati masa yang rentan itu, kami merasa sedih karena dikucilkan keluarga atas kehadiran kami sekeluarga terutama jenasah Ayah kami.
Mengingat pemberitaan akhir-akhir ini menunjukan Kota Ambon yang tergolong ‘rawan’ meningkatnya penyebaran Covid-19, maka Kabupaten/kota di Maluku, terutama Kabupaten Maluku Tenggara sudah harus lebih siap. Kesiagaan bukan ansih protokol kesehatan namun terpenting kesadaran/pemahaman warga terhadap virus mematikan berawal di Wuhan Tiongkok itu.
14 hari, saya dan keluarga (adik perempuan dan ibu) harus menjalani isolasi mandiri di kampung halaman, Katlarat-Ohoi Wulurat, Kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara. Isolasi berlangsung sejak Jumat 17 April sampai 1 Mei 2020.
Isolasi, hanya berselang beberapa jam, setelah kami menguburkan ayah kami, Arnoldus Sarkol yang meninggal pada Rabu 16 April 2020 pukul 24.00 WIT (Jam 12 malam) di kediaman pribadi di kawasan Benteng Atas-Gunung Nona, Kota Ambon.
Sepenggal cerita dari ruang isolasi mandiri, berawal ketika saya dan keluarga masuk kategori pelaku perjalanan dalam penanganan penyebaran Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Kami pelaku perjalanan karena menghantarkan jenasah ayah kami dari Kota Ambon, Jumat 17 April 2020 dari Bandara Internasional Pattimura Ambon menggunakan pesawat Wings Air menuju Bandara Karel Sadsuitubun Kota Langgur, Maluku Tenggara.
Setiba di Kota Langgur, pada hari itu juga kami bertolak menuju kampung halaman Katlarat-Ohoi Wulurat. Berangkat menggunakan speedboat carteran dari Dermaga Savsiu Langgur menuju pelabuhan kapal Elat, Kecamatan Kei Besar.
Speedboat carteran itu tiba di Pelabuhan Elat, sekira pukul 15.40 WIT. Kami tidak saja dijemput keluarga yang menunggu kedatangan jenasah. Di tengah kedukaan itu pula, kami harus menaati protokol kesehatan penanganan Covid-19. Sejumlah aparat TNI-Polri dan Tim Gugus Penanganan Covid-19 Kecamatan Kei Besar dilengkapi Alat Pelindung Diri (APD) seadanya, dengan sigap menanti di pelabuhan untuk melakukan pemeriksaan suhu tubuh dan pendataan bagi kami sekeluarga pelaku perjalanan dari luar Kabupaten Maluku Tenggara.
Singkat cerita, setelah menjalani pemeriksaan dan pendataan, kemudian kami menghantarkan jenasah untuk disemayamkan hanya sejam di rumah (tua) keluarga untuk berdoa dan memberi penghormatan. Keluarga harus ikhlas mengikuti protokol sesuai petunjuk Tim Gugus Penanganan Covid-19. Usai diberi penghormatan keluarga, selanjutnya jenasah diarak menuju pekuburan umum Ohoi Wulurat.
Dari kisah perjalanan pulang kami sekeluarga dan jenasah Ayah kami, harus menelan ‘Pil Pahit’ menerima kenyataan, adanya perlakuan tidak menerima kehadiran kami sekeluarga dari Kota Ambon.
Kami menyadari sungguh, di tengah ancaman wabah mematikan ini, ketakutan berlebihan menyelimuti warga, dan hasilnya kondisi yang kami alami.
Namun, jenasah ayah kami yang dipulangkan dari Kota Ambon dan harus dimakamkan di kampung halaman Ohoi Wulurat, adalah pesan-pesan terakhir ayah kami sebelum meninggalkan kami sekeluarga. Beliau pun meninggal karena sakit stroke yang telah lama dideritanya (2012-2020). Hal ini juga sesuai surat keterangan kematian yang diterbitkan Ketua Rukun Tetangga, pihak rumah sakit serta diperkuat surat keterangan dari Kantor Karantina Kesehatan Bandara Pattimura Ambon.
Kami mengalami kesedihan yang mendalam dan menyakitkan, bukan saja karena meninggalnya Ayah kami, ironinya penolakan keluarga atas kehadiran jenasah ayah kami di kampung halaman.
Perlakuan ini kami terima dari sebagian keluarga yang mengusulkan agar ayah kami dikuburkan saja di halaman rumah (tua) keluarga. Mereka takut jenasah dibawa ke pekuburan umum. Entah kenapa.
Sebagian lagi mempersoalkan mengapa jenasah harus dikembalikan ke kampung halaman dan tidak saja dimakamkan di Kota Ambon.
Bak pisau menyayat hati.
Terlihat ketidakhadiran keluarga saat di rumah duka hingga di pekuburan Ayah kami.
Desas-desus, serta kenyataan yang terlihat membuat kami sekeluarga merasa dikucilkan.
Minimnya sosialisasi Pemda
Sesungguhnya, kami tidak memedulikan penolakan itu, tetapi melalui tulisan ini sekiranya menjadi pelajaran bagi masyarakat, termasuk pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara untuk lebih pro aktif mengedukasi warga soal Covid-19.
Sesungguhnya, bila kematian ayah kami disebabkan virus atau penyakit menular lainnya, dengan akal sehat sudah tak mungkin keinginan ayah kami untuk kembali ke kampung halaman terpenuhi. Tak mudah memberangkatkan jenasah menggunakan jasa pesawat apalagi di tengah pandemi virus korona.
Jenasah ayah kami sudah memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan menggunakan pesawat. Hal ini didukung catatan yang dikeluarkan pihak medis baik petugas yang membersihkan dan menyuntikan formalin dari rumah sakit di Kota Ambon dan Otoritas Kantor Karantina Kesehatan Bandara Pattimura Ambon.
Namun, kami sedari minim pengetahuan masyarakat di kampung (Ohoi Wulurat) terkait Covid-19, ketakutan berlebihan diperparah upaya provokasi oknum-oknum tertentu menjadi alasan kehadiran jenasah ayah kami sempat dipersoalkan keluarga di kampung halaman, termasuk pihak gereja Katolik setempat yang tak melayani pemberkatan jenasah.
Ibarat seorang dokter menangani luka pasien, dokter tak boleh hanya memeriksa luka luarnya dan mengabaikan pemeriksaan organ dalam tubuh, jangan sampai terjadi luka dalam atau kerusakan dalam jaringan tubuh. Dokter hanya memeriksa tubuh tanpa menyuntikan obat yang tepat untuk segera menyembuhkan.
Dikhawatirkan, ketidaktahuan warga diperparah kecemasan berlebihan, akan menimbulkan kesalapahaman antar sesama warga atas penanganan warga pelaku perjalanan.
Dapat dilihat saja, pelaku perjalanan selalu dikonotasikan sebagai pembawa virus. Tak jarang sebagian dikucilkan. Akibatnya, ada keluarga pelaku perjalanan yang tidak menerima perlakuan diskriminasi.
Akhirnya, kisah yang kami alami di kampung halaman, ternyata juga dirasakan sebagian pelaku perjalanan lain. Bahkan beberapa keluarga yang berduka yang pemakaman keluarga tidak dihadiri oleh sanak saudara sekampung.
Dari pengalaman menyedihkan ini, saya memiliki konklusi, pemerintah daerah jangan terkesan menjalankan rutinitas ‘bagi-bagi masker’. Apalagi bila bagi-bagi masker yang bertendensi politis.
Penanganan saat ini, terkesan mencegah secara kasat mata. Diharapkan Pemda dan Tim Covid-19, mengedukasi kesehatan warga dan karekter masyarakat untuk hidup sehat, tapi juga berpikiran sehat.
Tidak semua orang meninggal diduga terjangkit virus korona atau sebagainya. Pemda harus bertindak, jika tak ingin perilaku warga Maluku Tenggara seperti yang dicontohkan di televisi, jenasah-jenasah (pasien Covid atau bukan) ditolak dimakamkan di pekuburan atau lingkungan sekitar.
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi suaradamai.com.