Bambang Brojonegoro, mengatakan, prediksi ekonomi 2023 tak pernah bisa dilepaskan dari perilaku manusia (human behavior), yang selalu berubah dan rumit, apalagi di era digital, sustainability, pandemi, dan perubahan iklim.
Jakarta, Suaradamai.com. – Diskusi panel bertajuk “Global Economy: Reflection and Challenges for Indonesia Post G-20 Presidency” digelar Universitas Paramadina Jakarta dan Kondrad Adeneuer Stiftung (KAS) Jerman, di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu (2/11/2022). Dua narasumber dihadirkan panitia, yakni Prof Bambang Brojonegoro dan dosen senior Wijanto Samirin.
Di awal presentasinya, Bambang Brodjonegoro, mengatakan, prediksi ekonomi 2023 tak pernah bisa dilepaskan dari perilaku manusia (human behavior), yang selalu berubah dan rumit, apalagi di era digital, sustainability, pandemi, dan perubahan iklim.
“Yang membuat ramalan ekonomi 2023 jadi menarik, karena penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian itu muncul karena terjadi inflasi tinggi (high inflation) akibat terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran (supply and demand), terutama karena kebutuhan tak diiringi persediaan” ungkap Bambang.
Menurut dia di Eropa dan negara maju baru saja mengumumkan tingkat inflasi mencapai 10 persen. Kalau biasanya, orang bicara tentang inflasi tinggi di negara berkembang, sekarang sebaliknya. Lalu, apa yang terjadi?
” bila terjadi inflasi di negara maju dan Amerika maka wajar sekali bila Bank Sentral (The Fed) bereaksi dengan menaikkan tingkat bunga. Inflasi terjadi karena adanya demand yang lebih tinggi dari kemampuan untuk supply. Otomatis, untuk mengerem lonjakan demand, tingkat bunga dinaikkan. Ini seperti rem tangan”. lanjut Bambang.
Namun yang terjadi saat ini, kata Bambang, problem besar ada di sisi supply, persediaan. Ketika pandemi dinyatakan selesai, terjadi lonjakan demand, karena tingkat mobilitas tinggi.
Setelah pandemi, ternyata kecepatan supply mengejar demand di negara-negara maju tidak seperti biasa. Potensial demand sudah terlanjur naik dan supply tidak bisa mengejar sehingga terjadi ekses demand.
“Itu yang mendorong inflasi tinggi sampai mencapai 10 persen di Eropa dan 8 persen di Amerika,” jelas Bambang.
Bambang melihat terjadinya supply disruption karena ada keterbatasan terutama dari satu faktor produksi bernama manusia (pekerja). Intinya, di Amerika terjadi kekurangan tenaga kerja untuk memberi layanan dan memproduksi barang kepada pelanggan.
Saat pandemi, di Amerika, banyak orang kehilangan pekerjaan, mereka dirumahkan, dan upahnya diturunkan. Sesuai dengan sistem di negara Paman Sam itu, mereka yang tidak bekerja memperoleh unemployment banking dan mendapat tunjangan sewa apartemen. Usai pandemi, ternyata perbedaan antara upah minimum dan unemployment benefit rata-rata hanya 30 persen. Akibatnya, banyak orang Amerika memilih tidak bekerja dan tidur-tiduran di rumah, daripada bekerja dari pagi sampai sore dengan pendapatan yang kecil.
Akibatnya, sektor jasa di Amerika kedodoran. Kekurangan tenaga kerja juga terjadi di sektor manufaktur.
Amerika menyelesaikannya dengan menaikkan tingkat bunga. Masalahnya, Amerika tidak menjawab the real issue, yaitu sisi produksi yang keteteran.
Di Amerika, bila ada isu mengenai produksi dan distribusi, pemerintah susah intervensi. Bila ada inflasi, hanya the Fed yang bisa lakukan intervensi, itu pun hanya menyangkut satu instrumen, yaitu menaikkan tingkat bunga untuk meredam demand. Kalau tidak ada produknya, tak mungkin harga bisa diturunkan.
Menurut Bambang, inflasi tinggi harus diantisipasi. Menakar ekonomi Indonesia 2023, dia sebut dua faktor kunci, yakni jaga inflasi dan tingkatkan investasi.
Inflasi harus dikendalikan supaya daya beli masyarakat tidak turun terlalu jauh. Daya beli masyarakat turun menyebabkan konsumsi dan pertumbuhan terganggu. Penanganan inflasi saat harga pangan bergejolak, harus jadi prioritas pemerintah.
Sementara, investasi terus ditingkatkan karena mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, kata Bambang, masih sekitar 5 persen, dengan catatan, pertumbuhan investasi harus dibuat sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan konsumsi.
Saat ini investasi tumbuh tapi pertumbuhannya masih di bawah konsumsi, kontribusi konsumsi yang paling besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. sehingga perlu tambahan kontribusi dari investasi.