Oleh Inay Kristina Maranressy, M.AB, Dosen STIA Darul Rachman Tual.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk meningkatkan nilai profesionalisme di tengah kinerja birokrasi yang menurun akibat dominasi politik yang berlebihan. Sistem rekruitmen birokrasi yang profesional, bersih, dan terbuka adalah solusi. Akhirnya, UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang mengatur proses rekrutmen birokrasi, membuktikan agenda reformasi ini.
Indonesia jelas ingin menerapkan sistem merit untuk menempatkan pejabat karier birokrasi pada posisi yang tepat, tetapi dengan kepala daerah sebagai pejabat politik memberikan wewenang menghasilkan peluang untuk intervensi dan kepentingan politik terhadap pelaksanaan rekruitmen birokrasi di dalam pemerintahan.
Tampaknya sulit untuk menghindari perbedaan antara birokrasi dan politik di Indonesia. Karena politisi bukan hanya orang yang membuat kebijakan, tetapi mereka juga telah masuk ke dalam sistem birokrasi.
Terlebih lagi dalam hal pemilihan kepala daerah, campur tangan antara birokrasi dan politik tidak dapat dihindari. Politik tidak hanya bersaing dalam konteks kontrak sosial tetapi juga dalam konteks birokrasi. Ini dapat dilihat mulai dari menentukan struktur kelembagaan dan organisasi birokrasi, memengaruhi tujuan, menetapkan strategi dan program, dan menolak atau menerima usulan anggaran.
Selain itu, proses penempatan kerja dan rekruitmen dalam sistem birokrasi pemerintahan juga dipengaruhi oleh campur tangan politisi. Selain itu, logika pembagian jabatan setelah pemilihan umum di tingkat nasional dan lokal tampaknya menjadi norma universal.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah berfungsi sebagai partner dalam menjalankan roda pemerintahan, bertindak sebagai penjabat publik yang mengelola pemerintahan daerah dan pemegang tampuk kepemimpinan. Semua jabatan birokrasi di suatu daerah akan dikelola oleh jabatan politik antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Hal ini menimbulkan masalah bagi birokrasi karena, meskipun birokrasi diharapkan bersikap profesional, karir birokrasi ditentukan oleh pejabat pembina birokrasi di daerah. Namun, sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas politisasi birokrasi, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki otoritas yang dapat membuat birokrasi harus tunduk kepada mereka, kecuali mereka bersedia menanggung risiko menghambat karier mereka dalam birokrasi.
Ketika seorang Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dilantik, mutasi pejabat birokrasi dan promosi jabatan lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan penguasa, yang dalam budaya politik dikenal sebagai pola Patron-client. Mereka berinteraksi satu sama lain secara resiprokal atau timbal balik melalui pertukaran sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak.
Penguasa memiliki kepentingan politik dalam hal ini. Terpilihnya oleh birokrasi akan memaksa kepala daerah dan wakil daerah tersebut untuk melakukan politik balas jasa dengan memberikan kedudukannya atau menaikkan mereka dalam birokrasi. Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah dalam mutasi jabatan ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan perbedaan terkait pengisian jabatan di birokrasi tersebut. Beberapa perubahan susunan jabatan di birokrasi yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Isitilah orang titipan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk bekerja di instansi pemerintahan tentunya memberikan peluang tumbuhnya politisi birokrasi. Sehingga banyak ASN dan Non ASN di provinsi, kota dan kabupaten khawatir apabila petahana ini kembali bertugas selesai masa cutinya kemudian akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan kepegawaian kepada para staf yang dianggap tidak mendukung kegiatan-kegiatan pemenangannya. ASN takut dirotasi, bahkan diberhentikan atau tidak dilanjutkan kontraknya untuk pegawai honorer karena tidak dianggap berpihak.
Pemerintahan baru selalu membawa harapan untuk perubahan dan perbaikan di berbagai sektor. Namun, perjalanan menuju tercapainya visi dan misi pemerintahan yang baru sering kali terhalang oleh berbagai tantangan birokrasi. Birokrasi, meskipun bertujuan untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang efisien dan transparan, kerap kali menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan dan reformasi yang diinginkan oleh pemerintahan baru yang biasanya disebut politisasi birokrasi. Adapun beberapa ciri dari politisasi birokrasi yaitu :
1. Struktur Birokrasi yang Kaku
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintahan baru adalah struktur birokrasi yang kaku dan sulit untuk diubah. Birokrasi yang ada sering kali memiliki sistem dan prosedur yang sudah mapan, yang tidak mudah diubah dalam waktu singkat. Proses pengambilan keputusan yang berlarut-larut, ketidakjelasan alur komunikasi, serta kurangnya fleksibilitas dalam merespons perubahan kebijakan, menjadi kendala dalam upaya pemerintahan baru untuk bergerak cepat.
Untuk itu, pemerintahan baru perlu merancang reformasi birokrasi yang tidak hanya fokus pada perubahan struktural, tetapi juga pada perubahan kultur birokrasi. Melakukan pelatihan yang memadai, menciptakan sistem reward (bonus) and punishment (hukuman) yang efektif, serta memberikan kesempatan bagi birokrat untuk berinovasi dapat membantu memperbaiki kualitas birokrasi.
2. Kekakuan dalam Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia (SDM) dalam birokrasi, meskipun berkompeten, sering kali terikat pada rutinitas dan sistem yang ada, sehingga sulit untuk beradaptasi dengan perubahan kebijakan atau arah baru yang ditetapkan oleh pemerintahan baru.
Penempatan pejabat tinggi yang didasarkan pada kekuatan politik atau senioritas, alih-alih kompetensi, dapat menciptakan birokrasi yang tidak efisien dan tidak inovatif. Hal ini memperlambat proses implementasi kebijakan baru dan dapat mengurangi akuntabilitas.
3. Politik dan Intervensi Eksternal
Birokrasi sering kali dihadapkan pada politik yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan prioritas kebijakan. Dalam pemerintahan baru, terdapat tekanan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar pemerintahan, untuk menjalankan kebijakan yang kadang-kadang tidak sejalan dengan prinsip profesionalisme birokrasi. Intervensi politik yang terlalu kuat dapat memengaruhi independensi birokrasi dalam menjalankan tugasnya dan memunculkan ketidakseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan politik.
4. Korupsi dan Praktik Tidak Etis
Korupsi dalam birokrasi masih menjadi masalah yang serius di banyak negara. Walaupun banyak upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan baru untuk membersihkan aparatur negara dari praktik-praktik korupsi, tantangan untuk menciptakan sistem yang bersih dan transparan tetap besar. Korupsi dalam birokrasi dapat memperlambat implementasi kebijakan dan merugikan rakyat.
Pemerintahan baru harus menghadapi tantangan dalam membersihkan dan mengubah budaya birokrasi yang sudah terpapar praktik korupsi. Solusinya adalah Penggunaan teknologi informasi yang lebih baik dalam sistem administrasi pemerintahan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, peningkatan pengawasan terhadap aparatur birokrasi dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang dapat memperbaiki citra birokrasi di mata publik. Serta upaya pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama dengan memperkuat lembaga-lembaga anti-korupsi dan memastikan bahwa birokrasi memiliki sistem pengawasan yang lebih ketat dan transparan.
5. Resistensi terhadap Perubahan
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah resistensi terhadap perubahan yang ada di dalam birokrasi itu sendiri. Aparatur negara yang telah bekerja dalam sistem yang lama sering kali merasa nyaman dengan rutinitas yang ada dan khawatir dengan potensi perubahan yang dapat merugikan posisi atau kekuasaannya.
Dalam banyak kasus, birokrat yang sudah terlanjur lama dalam sistem mungkin merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan baru yang diusung oleh pemerintahan yang baru. Hal ini menciptakan ketegangan antara pemerintahan yang baru dengan birokrasi yang sudah ada.
6. Kurangnya Sinergi antara Pusat dan Daerah
Birokrasi pusat dan daerah sering kali berjalan dalam jalur yang terpisah, sehingga menyebabkan kurangnya koordinasi dalam implementasi kebijakan. Pemerintahan baru yang berusaha mendorong desentralisasi atau reformasi pemerintahan berbasis daerah menghadapi tantangan besar dalam menyatukan visi dan misi antara pemerintah pusat dan daerah.
Hal ini sering kali menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran atau bahkan konflik kebijakan yang merugikan rakyat. Yang diperlukan dalam masalah ini adalah memperkuat Kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat melalui komunikasi yang lebih baik, serta pembagian tugas dan wewenang yang jelas. Hal ini penting agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat dapat diterjemahkan dengan baik di daerah tanpa terkendala oleh perbedaan perspektif atau kepentingan.
7. Pendanaan dan Sumber Daya Terbatas
Walaupun pemerintahan baru sering kali memiliki agenda besar untuk reformasi birokrasi, kendala pendanaan dan sumber daya menjadi tantangan yang tak terhindarkan. Proses perubahan yang melibatkan pelatihan SDM, pembaruan sistem, dan perbaikan infrastruktur birokrasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan anggaran yang memadai sering kali menghambat proses reformasi birokrasi yang diinginkan.
8. Mendorong Partisipasi Publik
Pemerintahan baru perlu melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dibuat relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melibatkan masyarakat sipil dalam arena politik dapat meningkatkan peran mereka dalam menghadapi ancaman politik.
Dengan demikian, ancaman tersebut tidak akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Partisipasi masyarakat di arena politik juga membantu warga memahami berbagai kegiatan politik yang terjadi, sehingga mereka dapat memberikan dukungan yang lebih efektif.
Tantangan birokrasi menuju pemerintahan baru memang tidak kecil, tetapi bukanlah hal yang tidak dapat diatasi. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintahan baru untuk melakukan reformasi yang menyeluruh, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses perubahan, birokrasi yang efisien, profesional, dan akuntabel bukanlah sebuah impian yang mustahil.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan keberanian untuk melakukan perubahan, serta kesabaran untuk menjalani proses transformasi yang panjang namun pasti.
*Opini ini merupakan tanggungjawab penulis seperti tertera, dan bukan merupakan tanggungjawab redaksi suaradamai.com