Fenomena childfree di Indonesia cenderung lebih banyak dipilih oleh generasi muda milenial (lahir antara 1981-1996) dan Gen Z (lahir antara 1997-2012).
Suaradamai.com – Fenomena childfree, yakni keputusan individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, semakin menjadi sorotan di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan perubahan nilai sosial dan preferensi keluarga di masyarakat.
Angka dan Fakta
Menurut BPS, pada tahun 2019, sekitar 7% wanita menikah berusia 15-49 tahun tidak memiliki anak dan tidak menggunakan kontrasepsi. Angka ini meningkat menjadi 8,2% pada tahun 2022, setara dengan sekitar 71.000 wanita. Temuan ini didapat dari laporan BPS berjudul “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia” menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022.
Fenomena ini lebih banyak ditemukan di wilayah perkotaan, khususnya di Pulau Jawa, dengan DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sebagai daerah dengan prevalensi tertinggi.
Secara keseluruhan, dilansir dari Voi.com angka kelahiran di Indonesia juga mengalami penurunan. Total Fertility Rate (TFR) Indonesia turun drastis dari 5,61 anak per wanita pada tahun 1970-an menjadi 2,18 pada tahun 2020. Penurunan ini mencerminkan transformasi besar dalam struktur keluarga dan prioritas hidup masyarakat.
Alasan di Balik Keputusan Childfree
Beberapa faktor yang mendorong pasangan untuk memilih childfree meliputi:
- Faktor Ekonomi, Tingginya biaya hidup, termasuk kebutuhan pokok, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, menjadi alasan utama bagi banyak pasangan untuk tidak memiliki anak.
- Perubahan Nilai Sosial, Peningkatan akses pendidikan bagi wanita dan perubahan ekspektasi sosial mendorong lebih banyak individu untuk fokus pada pengembangan diri dan karier sebelum mempertimbangkan memiliki anak.
- Kesehatan Mental dan Alasan Pribadi, Beberapa individu merasa tidak siap secara mental atau memiliki alasan pribadi lain untuk tidak memiliki anak.
- Kekhawatiran Lingkungan, Sebagian pasangan memilih childfree karena khawatir terhadap dampak populasi yang berlebih terhadap lingkungan.
Tanggapan Pemerintah dan Kebijakan
Menanggapi tren ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung pasangan yang ingin memiliki anak. Salah satu kebijakan terbaru adalah pengesahan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), yang memperpanjang cuti melahirkan dan menyediakan fasilitas pendukung bagi ibu bekerja. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi keluarga muda.
Namun, tantangan tetap ada. Perubahan demografi akibat penurunan angka kelahiran dapat memengaruhi struktur ekonomi di masa depan, termasuk berkurangnya tenaga kerja muda dan tekanan pada sistem pensiun. Oleh karena itu, fenomena childfree tidak hanya menjadi isu pribadi, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat dan perekonomian.
Fenomena Global dan Lokal
Dikutip dari Jakarta Globe fenomena childfree sebenarnya bukan hal baru di dunia. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa telah lebih dulu mengalami tren ini. Namun, di Indonesia, fenomena ini masih relatif baru dan sering kali mendapat stigma dari masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai keluarga tradisional.
Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin terbuka terhadap pilihan hidup yang beragam. Fenomena childfree mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang kompleks, serta menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang adaptif untuk mendukung pilihan hidup masyarakat modern.