Meski bukan berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris, Kim punya sejuta keinginan untuk mengajar sejak dulu.
Langgur, suaradamai.com – Langkah-langkah kaki kecil berbulan-bulan lamanya harus terhenti di rumah. Langkah-langkah itu terhempit oleh bencana non alam yang menghantam belahan dunia termasuk Indonesia. Imbasnya dirasakan di kota sampai pelosok-pelosok.
Kerinduan untuk belajar, bercanda dan bermain bersama teman, memusingkan kepala guru di sekolah, seolah menjadi sebuah mimpi yang harus dirindu untuk kembali nyata bagi anak-anak di bangku sekolah.
Meski menetap di pusat kota, sekelompok anak-anak ini juga mengalami kesulitan untuk belajar daring. Jangankan handphone, biaya pulsa yang seharga puluhan ribuan saja, tak mampu dijangkau.
Tidak hanya itu, pola belajar yang tidak seperti biasanya, membuat anak-anak umuran bangku sekolah dasar itu cenderung bosan.
Belum lagi rasa malas yang kerap kali datang menggangu fokus mereka. Akhirnya, bermain menjadi pelarian terakhir saat belajar daring begitu terbatas dan membosankan.
Hal ini dirasakan anak sekolahan pada umumnya. Salah satunya sekelompok anak-anak usia bangku sekolah di kompleks Pemda, Ohoijang, Maluku Tenggara.
“Melihat mereka lebih banyak bermain di rumah, saya tiba-tiba jadi ingin melakukan sesuatu untuk mereka,” ungkap relawan pendidikan, Alvino Fridolin Kadmaer (26) kepada Suara Damai, Selasa (4/5/2021) siang.
Lelaki berdarah Desa Watngil, Maluku Tenggara itu, harus berbagi waktu agar bisa merangkul anak-anak yang kurang mampu untuk belajar. Pelajaran yang menjadi fokusnya adalah Bahasa Inggris.
Peduli terhadap pendidikan dan rupiah keluarga mereka, kelas yang dibukanya sejak September 2020 itu, tidak dibebankan biaya sepeserpun. Tidak hanya anak-anak kurang mampu, kelas gratis itu juga terbuka untuk siapa saja yang mau belajar.
“Tuhan sudah berikan ilmu dengan gratis, jadi saya wajib juga berbagi dengan gratis kepada siapa saja,” ucap lelaki yang kerap disapa Kim itu.
Meski bukan berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris, Kim punya sejuta keinginan untuk mengajar sejak dulu.
Dengan kemampuan ilmu yang diperoleh secara otodidak dari berbagai sumber, membuatnya bertekad membuka kelas gratis itu.
Setiap hari Minggu seusai beribadah, dia harus mengumpulkan mereka satu persatu untuk belajar.
Memanfaatkan salah satu ruangan kelas SMP di bawah naungan Yayasan Karel Sadsiutubun, anak-anak itu dibimbingnya dengan sesekali bernyanyi dan bermain.
Sesekali juga, dia harus membawa makanan kecil untuk menyenangkan hati murid-muridnya itu. Awalnya, dia hanya berjalan sendiri. Namun, saat ini dirinya dibantu oleh teman-teman pemuda di gerejanya.
“Memang tidak ada sponsor tetap, tetapi teman-teman pemuda di gereja sering membantu,” kata Kim.
Setelah berjalan dengan baik dipenuhi senyuman anak-anak yang punya sejuta semangat, kelas belajar gratis itu sempat ditutup karena daerah bertajuk Larvul Ngabal itu tervonis zona merah covid-19.
Dengan sedikit kecewa, dia harus menutup kelas itu sementara waktu. Karena semangat dan kerinduan belajar dari anak-anak didik, maka kelas itu dibuka kembali setelah situasi mulai kondusif.
Dengan termotivasi dari semangat anak didiknya, di bulan mendatang, dia akan mengundang lebih banyak lagi anak yang kurang mampu untuk belajar di kelas gratis itu.
“Saya punya prinsip dream, believe and make it happen. Harus kejar mimpi, tidak ada kata terlambat untuk sukses dan berbagi,” ungkap Kim.
Melihat semangat dari anak-anak yang tidak terbatasi oleh pandemi covid-19, salah satu wakil Maluku di Jambore Pemuda Nasional 2019 itu, mulai mempersiapkan tim untuk membuat konten-konten edukatif Bahasa Inggris.
Editor: Labes Remetwa
“Saya punya prinsip dream, believe and make it happen. Harus kejar mimpi, tidak ada kata terlambat untuk sukses dan berbagi,” ungkap Kim.