Saat pandemi covid-19 mewabah manusia mulai mengalami banyak hal yang membuatnya mencoba hal baru.
The New Normal World
Adalah sebuah tatanan dunia baru yang akan merubah sistem kehidupan di segala aspek, termasuk pekerjaan untuk mencari nafkah.
Prof. Harari menulis sebuah artikel di Financial Times dengan Judul The World After Coronnavirus – Dunia setelah Virus Corona. Menurut sejarawan peraih nobel ini bahwa virus corona akan memicu dua kemungkinan negara-negara di dunia, setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan infeksi nCov-2019 ini sebagai pandemi global: bersatu atau bercerai kian jauh. Tentu saja Harari mendorong dunia bersatu, berbagi informasi, berbagi beban, dan bergotong royong menghadapi problem-problem pelik di masa depan.
Harari menyoroti apa yang terjadi pada negara-negara dan sistem politik, hubungan negara dengan masyarakat lewat teknologi, kebiasaan-kebiasaan kita yang berubah akibat tabiat baru setelah work from home. Mari kita lihat sejarah perkembangan peradaban manusia.
Hari-hari ini berbagai aktifitas yang biasanya dilakukan di ruang kenvensional dipaksa masuk ke dalam ruang virtual, misalnya belajar online, kuliah online, rapat online dan sebagainya. Semua ini mengisyaratkan bahwa sedang terjadi perubahan dunia dalam jejaringan komunikasi global dan salah satu kekuatan yang ada pada genggaman kita; smartphone. Terminologi telepon genggam jelas tidak lagi memadai; fungsi telepon genggam bukan lagi hanya untuk bertelepon, itu telah menjelma menjadi pusat jendela dunia kita. Bahkan, lebih dari sekadar jendela, ia merupakan interface (antarmuka) kita dengan dunia. Tempat kita berinteraksi untuk memenuhi berbagai kebutuhan kita sebagai manusia baik secara fungsional, emosional ataupun simbolik.
Kondisi hari ini?
Saat pandemi covid-19 mewabah manusia mulai mengalami banyak hal yang membuatnya mencoba hal baru. Salah satunya yang dianggap penting adalah ketika bekerja dari rumah. Mau tidak mau, hal yang dulu tidak terpikirkan, harus mendadak dikerjakan. Kita tidak perlu keluar dari rumah untuk mengerjakan hal yang dulu dianggap harus dikerjakan di luar rumah. Misalnya bekerja dari rumah atau akrab kita kenali dengan Work From Home (WFH). Awalnya, kegiatan WFH ini terasa menyiksa. Tetapi lambat laun menjadi rutinitas yang menyenangkan. Rapat dikerjakan jarak jauh, pekerjaan bersama dikerjakan tanpa saling bertemu. Lalu muncul pertanyaan apakah jika pandemi ini berakhir, kita akan terbiasa bekerja dari jauh? Konteks positifnya adalah setiap orang tidak perlu membuang banyak energi dan melakukan pengeluaran yang tidak perlu. Waktu produktif dan capek yang dilakukan saat berangkat kerja dan pulang kerja, tak perlu diulang kembali. Tak perlu ada nyala lampu dan pendingin ruangan di kantor. Efisiensi energi terjadi, baik energi listrik, energi bahan bakar mesin, maupun energi emosi.
World Health Organisation (WHO) melalui direktur kedaruratannya, dr. Mike Ryan kembali mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan bahwa virus covid-19 mungkin tidak akan pernah hilang meski nantinya ditemukan vaksin. Merespon hal itu, Presiden Joko Widodo mengajak bangsa Indonesia agar berdamai dan berdampingan dengan covid-19 serta memberi isyarat bahwa Indonesia akan segera memasuki kehidupan normal yang baru. Pernyataan ini tentu tidak lepas dari kritik, misalnya para pengamat mengatakan bahwa bahkan untuk berperang pun belum kita mulai. Berbeda dengan itu, Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu menegaskan bahwa kita akan segera menuju Indonesia baru yang berbeda, “mulai dari kehidupan sosial, kesehatan, ekonomi, psikologis, dan lain sebagainya”. Dulu yang kita anggap normal, ternyata tidak siap dalam menghadapi pandemi yang seperti ini. Kita harus menuju Indonesia yang baru yang berbeda atau disebut new normal. Apakah kita akan normal seperti masa lalu? Berkerumun, berkumpul-kumpul, pergi ke restoran, bisa melakukan kegiatan arisan, halal bihalal, atau yang lain, mungkin tidak seperti itu.
Apa itu paradigma?
Paradigma adalah cara seseorang memandang sesuatu, menilai sesuatu bahkan bergerak menyesuaikan diri menuju pada cara pandang itu. Paradigma bisa menjadi keyakinan, bisa disebut ideologi, kepercayaan dan iman. Banyak orang beragama, berbudaya tetapi belum memiliki cakrawala berpikir sesuai dengan apa yang diamininya. Tidak cukup hanya berbuat baik tetapi perbuatan baik itu hasil dari hati yang baik, itulah paradigma yang baik.
Paradigma menuju habitus baru
Dalam praktek kehidupan kita, tidak semua perbuatan baik dilandasi pada maksud yang baik. Ada perbuatan baik yang sungguh baik, tetapi ada perbuatan baik yang sebenarnya adalah buruk, korup dan busuk. Contoh dalam masa pembatasan sosial, ada orang yang datang membagi-bagikan masker dan makanan kepada sekelompok penganggur di pinggiran jalan, ternyata malah mengakibatkan kerumuman warga. Perbuatan baik, membagikan masker dan makanan, tetapi dampak yang dihasilkan buruk karena melanggar protokol kesehatan.
Seorang mistikus besar dari Jerman Meister Echart mengungkapkan sebuah nasihat penting: “Hendaklah kamu tidak concern tentang perbuatan baik. Lebih concernlah pada hidup baik. Karena jika hidupmu baik maka perbuatan-perbuatanmu akan lebih cerah berseri”. Bisa kita katakan bahwa lebih concernlah pada hidup sehat sehingga perbuatan sehat akan terus dilakukan. Oleh karena itu buah dari iman yang benar adalah perubahan hidup atau transformasi hidup. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang harus dilakukan agar terjadi transformasi dalam hidup? Jawabannya tidak ada. Karena sesungguhnya transformasi hidup bukanlah buah dari usaha atau pekerjaan, melainkan buah penglihatan. Hidup kita akan berubah dengan sendirinya apabila kita dapat melihat sesuatu dengan cara pandang yang baru. That’s It: Paradigm!
Ada kebijaksanaan Cina yang berbunyi: apabila mata tak terhambat, orang jadi melihat. Apabila telinga tak terhambat, orang jadi mendengar. Apabila lidah tak terhambat, orang jadi mengecap. Apabila budi tak terhambat, orang jadi bijaksana. Dan mari kita tambahkan bahwa penghambat budi adalah ilusi-ilusi. Lepaskanlah ilusi maka kita menjadi bijaksana, menjadi bahagia. Tragedi kehidupan kurang disebabkan oleh banyaknya derita dan bencana, lebih disebabkan oleh besarnya kehilangan-kehilangan. Kehilangan apa? Kehilangan harta yang tersimpan dalam kehidupan, tetapi tak terlihat, tak kusadari karena tertutup oleh macam-macam ilusi tadi.
Belajar dari kisah diketemukannya tambang intan terbesar di Afrika Selatan. Konon, ada seorang petualang yang menjelajahi daerah-daerah Afrika Selatan. Suatu pagi, selagi bersantai di depan gubuk seorang ketua suku, dilihatnya anak-anak kecil sedang bermain menggunakan batu-batu putih. Ketika petualang itu memungut salah satu dari batu-batu putih itu hatinya berdebar. Intan sedang digemgamnya! Katanya kepada kepala suku: “Tahukah kau di negeriku anak-anak juga bermain-main dengan batu seperti ini, kelereng namanya. Bolehkah aku membawa beberapa batu ini, kutukar dengan tembakau?”. Kata ketua suku itu kepadanya: “Oh, ada jutaan batu seperti itu di sini. Kau lihat sendiri, berserakan di halaman rumah ini, di pinggir kali dan di mana-mana. Saya akan merasa seperti merampokmu kalau kau tukar dengan tembakau. Tetapi kalau kau mau memberikan aku tembakau, akan kuterima dengan senang hati”. Petualang itu pun pulang dengan membawa sekantung intan. Dijualnya, lalu ia kembali ke Afrika. Dibelinya seluruh daerah itu dengan tambang intannya. Ia menjadi salah seorang terkaya di jamannya, sedang si ketua suku dan orang-orang Afrika lainnya di daerah tersebut yang hidup di atas harta terpendam yang tak ternilai harganya tidak melihat dan menyadarinya. Mereka tetap miskin saja, suatu tragedi kehidupan.
Sekarang mari dimulai dengan sebuah meditasi kecil; Bayangkan ada seorang anak yang sedari kecil sudah dibiasakan mencicipi ganja dan obat bius. Ketika anak kecil itu berkembang makin besar, seluruh tubuhnya menginginkan dan ketagihan ganja itu. Tanpa ganja, seluruh tubuhnya terasa sakit, mati lebih baik rasanya. Kita sejak kecil telah dibiasakan mencicipi ganja tersebut, namanya: nongkrong, arisan, pesta pora, berkumpul di kerumunan, popularitas dan sebagainya. Sekali orang telah merasakan senangnya diterima, berkumpul, senangnya didukung dan dipuji, dia sangat mudah kecanduan dan ketagihan. Rasanya tidak mungkin hidup damai, gembira dan bahagia tanpa itu semua. Apabila ini terjadi tanpa ia sadari sendiri ia kehilangan kebebasan, ia jadi tergantung pada masyarakat yang dengan mudah mengontrol dan bahkan mempermainkan dia. Ia menjadi seperti robot yang segala gerak geriknya diprogram dan diatur dengan remote control. Kalau orang memencet tombol pujian misalnya, ia pun berjalan dengan gagah, macam ada drumband dengan irama mars yang menggiringnya. Sebaliknya, kalau orang memencet tombol kritik ataupun penolakan ia berjalan terseok-seok bahkan roboh tak berdaya. Hatinya serasa kosong, sepih dan galau.
Bagaimana orang dapat melepaskan diri dari cengkraman ganja atau obat bius yang namanya segala aktifitas yang dilakukan sebelum pandemic covid-19? Pertama, dengan milihat atau menyadari akibatnya yaitu hilangnya kebebasan untuk memperoleh kehidupan yang sehat. Dengan berkumpul dan berpesta, kita akan kehilangan kesempatan untuk melindungi diri sendiri dan juga orang-orang yang kita sayang. Bebaskan diri untuk tidak selalu mau mengikuti harapan dan keinginan masyarakat atau orang lain yang bisa memberi atau menahan dukungan dan pujian itu. Hilangkan stigma bahwa aku tak dapat hidup tanpa mereka dan kalau sudah hidup bersama mereka aku jadi gelisah dan khawatir jangan-jangan kehilangan mereka. Kedua, langsung mengalami kesendirian (aloness) sungguh menarik sendirian. Dengan berenang atau mendaki bukit sendirian, lepas dari teman siapapun itu. Ibaratnya sebagai ganti ganja dan obat bisu, aku minum air segar dari Gunung. Aku menghirup udara segar dari daerah pepohonan atau menikmati udara segar pagi sendirian. Melakukan semuanya tadi dengan sendirian awalnya akan terasa berat dan menakutkan. Dalam kesendirian (aloneness) orang merasa kesepian (loneliness) karena orang tak terbiasa demikian. Maka orang harus sabar, tetapi mulai melakukannya. Orang betul harus melewati padang gurun kesepian untuk bisa memasuki tanah terjanji sendiri dimana orang bisa menikmati teman yang ada tetapi tanpa membutuhkan dia dan kalau ia tidak ada orang tidak kehilangan dia juga.
Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah meditasi kecil. Ingatlah kelompok yang anda butuhkan atau yang anda kira anda butuhkan: penerimaan, dukungan dan cintanya. Kita berdiri di hadapan mereka dan sadarilah dimana di hadapan mereka, kita kehilangan “kebebasan” kita. Kita tak bisa jadi diri sendiri. Tahulah sekarang apa artinya menjadi diri sendiri, menjadi orang bebas dapat hidup sebagai raja atau ratu di negeri sendiri. Artinya, kita tak harus tampil berkumpul, melakukan aktifitas luar rumah untuk hal yang tidak terlalu penting, toh kita sudah punya pengalaman untuk bertemu melalui ruang-ruang virtual, kita bisa relax dengan siapapun karena kita tidak menginginkan sesuatupun dari siapapun. Tentu saja kita menginginkan suatu dari orang lain, tetapi bila keinginan tersebut tidak terpenuhi kita tidak terganggu, tetap tenang, tidak kecewa dan tidak marah.
Pada suatu hari anda pergi ke rumah makan dan bertanya: “Ada ayam lalapan?” “Tidak Ada”. “Rumah makan macam ini mengacaukan saja makan siang ku! Ayo kita pergi ke rumah makan lain”. Ada keinginan yang tak terpenuhi dan orang jadi kecewa, marah. Atau kita bertanya; “Ada ayam lalapan?” “Tidak ada” “Apa yang ada?” “Nasi goreng”. “Aghhh ini juga baik. Kita akan menikmatinya juga”. Lihat, ada keinginan tidak terpenuhi tapi kita tidak terganggu, kita happy saja. Seorang Bapak muda menunggu kelahiran bayinya di BKIA. Bidan keluar dan bertanya: “Bapak ingin cewek atau cowok?” “Aku Ingin Cowok” “Aduh, sayang sekali saya bawa kabar jelek buat anda. Bayi bapak cewek”. “Oh… Ok, itu pilihanku yang kedua”.
Bila iman dapat menghasilkan sikap demikian, iman itu benar, iman itu membuahkan transformasi hidup. Selamat bertransformasi, inti habitus baru!
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi suaradamai.com.