Dia bukan cuma simbol, tetapi telah menjadi jiwa dan roh kebenaran yang disakralkan oleh orang Kei.
Dia berdiri di atas tanah adat yang disebut Nuhu Kilkilun. Dikenal oleh tanah dan seluruh penghuni yang kelihatan maupun tidak kelihatan. Di dalam maupun di atas tanah. Seraya bersabda, “hira ni fo i ni, it did fo it did” (milik orang biarlah menjadi miliknya, dan milikilah apa yang menjadi hakmu).
Dia bagaikan sosok gadis yang suci murni tak tercela. Dia ibarat kaum perempuan yang selalu yang selalu dihormati dan dibela mati-matian oleh manusia Kei, sebagaimana adagium “mat er lafik renar urar” (rela mati demi membela citra dan nama baik saudara perempuan).
Dia bukan cuma simbol, tetapi telah menjadi jiwa dan roh kebenaran yang disakralkan oleh orang Kei. Sehingga, ketika dinodai maka pelanggar akan mendapatkan sanksi. Bukan cuma sanksi fisik tetapi juga sanksi ilahi.
Namun kini dia mulai disalahgunakan untuk menjadi momok yang memuluskan kepentingan tertentu. Bahkan ada penegak hukum adat yang seharusnya lebih paham dan lebih berkewajiban memelihara, justru mencorengnya.
Dia tidak bersuara untuk memprotes penyalahgunaan dirinya. Tetapi deritanya terasa menyayat bagi kaum yang sungguh hidup dalam kebenaran adat. Dia hanya bisa menjerit dalam kebisuannya.
“Dimanakah rasa hormatmu kepadaku wahai saudara-saudaraku?”
“Mengapa engkau menelanjangi saudaramu sendiri wahai saudaraku yang terkasih?”
“Lihatlah betapa aku setia dalam kasihku kepada dari zaman ke zaman, walau dihantam panas dan hujan sekalipun. Sementara kamu, saudaraku, tega mempermalukan aku?”
“Saudaraku, murkaku sebanding dengan cinta dan kesetiaanku. Murkaku tidak berasal dariku, tetapi berasal dari kelalaianmu sendiri.”
“Jangan biarkan murkaku yang berasal darimu, menjeratmu dalam kepedihan dan kesengsaraan yang tidak berkesudahan.”