Meski Pemkab Malra sudah membangun jalan “butas” ke Ngiarwarat menggunakan dana pinjaman dari PT. SMI sekitar Rp14 miliar, lokasi wisata baru Pantai Ngiarwarat tampak mati suri.
Langgur, suaradamai.com – Perkembangan wisata di Pantai Met Bal Sorbay, Ohoi Ohoidertawun, Maluku Tenggara, masih begitu-begitu saja. Peribahasa “hidup segan mati tak mau” bisa jadi gambaran kondisi terkini aktivitas wisata di lokasi tersebut.
Peribahasa yang sama juga bisa disematkan pada lokasi wisata baru di Ohoidertawun, yakni Pantai Ngiarwarat. Pantauan Suaradamai.com, lokasi baru itu tampak tak terurus. Pondok-pondok yang dibangun sudah roboh. Di sampingnya tumbuhan liar bertumbuh subur.
Melihat ke arah pantai, panggung Festival Pesona Meti Kei (FPMK) hanya tinggal jejeran tiang-tiang penyangga. Lantai panggung berbahan kayu sudah tersapu bersih oleh ombak musim barat.
Sementara di dekatnya, toilet umum juga sudah rusak. Tampak sejumlah kantong plastik hitam besar berisi sampah, terkumpul di bawah salah satu pohon di tengah lokasi yang dulunya menjadi tempat acara puncak FPMK.
Ngiarwarat pada tahun 2022 dan 2023 menjadi lokasi utama pelaksanaan FPMK. Untuk mengadakan event tahunan di lokasi baru itu, Pemkab Malra menggunakan uang pinjaman dari PT. SMI sebesar Rp14 miliar, untuk membangun ruas jalan Ohoidertawun-Ngiarwarat.
Kendati begitu, warga bisa hanya mengelus dada melihat kondisi Ngiarwarat hari ini. Sebab, hingga kini tidak ada pengelolaan yang nyata di lokasi tersebut. Dua kali event FPMK seperti tidak punya pengaruh untuk menggenjot kunjungan wisata maupun pendapatan ke Ohoidertawun (Met Bal Sorbay dan Ngiarwarat).
Pj. Kepala Ohoi Ohoidertawun Adriana Woersok mengakui hal itu. Ia menyebut jumlah kunjungan dan pendapatan ke Ngiarwarat dan Met Bal Sorbay masih sama seperti sebelum ada pembangunan jalan dan pelaksanaan event FPMK.
“Dilihat dari pemasukan setiap hari minggu, dari karcis masuk itu kadang Rp100 ribu, kadang di bawah Rp100 ribu, kadang seng (tidak) ada sama sekali … artinya dari pendapatan itu katong su bisa tahu jumlah pengunjung berapa. Satu motor Rp15 ribu sementara mobil Rp20 ribu. Mobil yang masuk juga lebih banyak seng full (kurang penumpang),” terang Woersok kepada Suaradamai.com belum lama ini.
Pendapatan FPMK menurun
Woersok mengungkap, dua kali pelaksanaan event FPMK di Ngiarwarat tidak mampu meningkatkan kunjungan wisatawan dan pendapatan. Justru pendapatan mengalami penurunan.
Total pendapatan dari penagihan karcis saat pelaksanaan FPMK pada 2022 sekitar Rp15 juta. Turun menjadi sekitar Rp10 juta pada tahun 2023.
Hasil penagihan itu, lanjut Woersok, pun dibagi 10 persen ke pemerintah daerah. Sementara 90 persen dibagi tiga untuk tiga ohoi, yaitu Ohoidertawun, Ohoider Atas, dan Dunwahan. Masing-masing ohoi mendapat sekitar Rp4 juta pada 2022 dan Rp2,7 juta pada 2023.
“Tahun pertama agak ramai. Tahun kedua seng ramai karena langsung kegiatan puncak. Sementara tahun pertama itu ada kegiatan lain seperti Futsal, dan sebagainya,” kata Woersok menjelaskan penyebab pendapatan berkurang.
Selain itu, Woersok menambahkan, warga setempat tidak menerima dampak ekonomi secara leluasa dari pelaksanaan FPMK. Sebab mereka harus bersaing dengan UMKM atau penjual lain yang didatangkan dari luar ke Ngiarwarat.
“Ada Alfamidi, Kawan Mart, itu-itu semua. Dong datang deng stand semua. Pendapatan tidak banyak, masyarakat juga mengeluh,” tambah Woersok.
Fokus di Ohoidertawun
Woersok mengatakan, pihaknya hingga kini belum ada rencana pengembangan wisata Ngiarwarat. Pemerintah ohoi, BUMO, dan Podarwis setempat masih fokus untuk mengelola wisata Pantai Met Bal Sorbay.
Hal itu disebabkan karena dua masalah utama yakni belum ada angkutan ke Ngiarwarat dan belum ada pengunjung tetap di sana.
“Di dalam kampung saja katong belum kelola baik-baik. Lalu katong mau pi urus yang jauh-jauh sana … Kedepannya mungkin pemerintah daerah yang akan bangun,” kata Woersok seraya mengungkap Pemkab Malra sudah mengkapling lahan seluas 8 hektare di Ngiarwarat.
Akses jalan ke Ngiarwarat untuk pertanian dan perikanan
Terlepas dari pariwisata, masyarakat Ohoi Dunwahan, Ohoider Atas, dan Ohoidertawun kini memanfaatkan akses jalan ke Ngiarwarat untuk aktvitias pertanian dan perikanan (budidaya rumput laut).
Selain penduduk sekitar, warga dari ohoi lain juga menggunakan akses jalan Ngiarwarat untuk aktivitas serupa.
“Yang lebih banyak ke Ngiarwarat untuk menyuluh, tembak burung,” ungkap Woersok.
Ia berharap pemerintahan selanjutnya bisa memberikan kepastian soal pengembangan wisata Pantai Ngiarwarat. Sehingga secara bersama-sama juga mengembangkan Pantai Met Bal Sorbay.
Editor: Labes Remetwa