Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tenggara punya motto: menguasai Maluku Tenggara 2018 dan menduduki Maluku 2020.
Suaradamai.com – Obsesi Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara menjadikan daerah berjuluk Larvul Ngabal ini sebagai sentra produksi bawang merah di Maluku, masih diragukan.
Produksi bawang merah yang mengalami penurunan drastis, kualitas belum bersaing dengan bawang merah impor, pemasaran tidak jelas, pengadaan bibit berkurang, pendampingan tidak intensif, serta fasilitas produksi yang kurang mendukung, merupakan tantangan yang dihadapi Dinas Pertanian dan petani.
Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tenggara punya motto: menguasai Maluku Tenggara 2018 dan menduduki Maluku 2020.
Kenyataannya, Distan Malra bersama petani berhasil memproduksi 240 ton bawang merah pada 2018. Tetapi 2019 mengalami penurunan drastis. Produksi tidak mencapai 1 ton atau hanya 299 kg. Padahal untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi bawang merah di Malra adalah 270 – 300 ton per tahun.
Terkait kualitas, Kepala Seksi Produksi Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura Distan Malra, Marten Jaftoran mengatakan bahwa kualitas bawang merah lokal bisa bersaing dengan bawang merah impor. Hal itu dibuktikan dengan hasil uji Laboratorium Makassar, menunjukkan bahwa bau, warna, dan kandungan minyak bawang merah lokal lebih baik. Daya tahan bawang lokal mencapai tiga bulan menurut petani.
Sayangnya, pedagang dan konsumen punya pendapat yang berbeda. 10 dari 10 pedagang dan konsumen di Pasar Langgur mengatakan bahwa bawang merah lokal kalah saing dari banyak segi.
Tim Suara Damai/ Pilar Timur mewawancarai 5 pedagang/papalele dan 5 pembeli/konsumen di Pasar Langgur, Kabupaten Maluku Tenggara pada Rabu, (29/1/20), menunjukkan bahwa bawang impor lebih digemari para konsumen dibandingkan bawang lokal.
Bawang merah impor menurut pedagang dan konsumen memiliki bau lebih harum, warna kemerahan-merahan, ukuran lebih besar, daya tahan lebih lama, rasa enak, dan lebih pedas. Sebaliknya bawang merah lokal memiliki warna pucat – kekuningan, ukuran kecil, dan kadar air tinggi.
Seorang pedagang, Amir (28), bahkan menduga bahwa bawang merah lokal belum siap panen sudah dijual. “Hal tersebut dapat dilihat dari kematangan dan kekeringan bawang,” kata dia.
Kualitas ini juga berpengaruh terhadap pemasaran bawang merah lokal. Konsumen cenderung memilih bawang merah impor karena lebih unggul.
Di sisi lain, Distan coba melakukan promosi pada Agustus 2018, dengan menggelar Galeri Bawang Merah. Namun cara itu belum berhasil. Buktinya pada awal September tahun yang sama, saat terjadi over produksi bawang merah, petani mengeluh karena tidak tahu mau pasarkan kemana. Padahal sudah mengeluarkan biaya jutaan rupiah.
Petani Bawang Merah Ohoi Vatngon Fitus Selsius Savsavubun kepada Evav News saat itu mengusullkan agar Pemkab Malra membentuk Koperasi Tani atau BUMD untuk membeli dan menampung hasil produksi para petani untuk dipasarkan ke luar daerah. Fraksi NasDem DPRD Malra mendorong Pemkab Malra untuk mensubsidi Rp5.000 per kg bawang merah.
Pada akhirnya, usaha itu juga tidak berjalan dengan baik. Petani kemudian cari jalan sendiri. Mereka berinisiatif menjual keluar daerah, seperti Kaimana, Fak-Fak, Sorong, Timika, Dobo, Tanimbar, dan Seram Bagian Timur. Bawang merah terjual habis dan tidak tersisa untuk bibit.
Terkait bibit, juga mengalami penurunan. Bahkan saat ini belum ada kejelasan bibit. Penyaluran bibit oleh Distan Malra pada tahun 2018 sebanyak 50 ton, dengan rincian Ohoi Watngon 10 ton, Kamear 25 ton, dan Yafavun 15 ton. Pada tahun 2019 bibit yang disalurkan turun menjadi 26,7 ton, Watngon terima 2,7 ton, Kamear 10 ton, dan Yafavun 14 ton.
Pada tahun ini pun masih diragukan Distan akan mencapai target pemenuhan pasar lokal. Karena rencana petani Ohoi Watngon dan Kamear berhenti produksi bawang merah tahun ini. Selain masalah ketersediaan air, Distan berhenti melakukan pendampingan bagi petani Kamear dan Watngon sejak Agustus 2019 lalu.
Kepala Dinas Pertanian Felix Tethool membenarkan hal tersebut. Menurutnya kebijakan itu diambil sebagai pembelajaran bagi petani di Watngon dan Kamear karena tidak mengikuti arahan Distan.
“Ini hanya untuk pembelajaran,” kata Tethool.
Sebaliknya, Yafavun yang selalu mengikuti anjuran Distan, mendapat perhatian lebih.
Ada sedikit harapan dari petani Ohoi Yafavun yang rencana menanam 50 ha. Tapi belum dapat dipastikan karena bibit belum diterima.
Berdasarkan uraian di atas, mungkinkah Distan akan mampu mendorong produksi bawang merah merajai pasar lokal di tahun 2020, dan berkelanjutan? Bagaimana Distan akan mensiasati produksi untuk memenuhi mottonya sebagaimana disampaikan pada 2018? Bagaimana Distan meningkatkan kualitas bawang merah untuk bersaing di pasaran? Bagaimana Distan memfasilitasi promosi untuk meyakinkan konsumen? Kita ikuti pada edisi mendatang!
Di pihak lain, petani Ohoi Faan Hon Afloubun pada tahun 2019 berhasil memproduksi 8 ton bawang merah di atas lahan 1 ha. (timred)