“Hutan adalah roh dan leluhur. Merusak hutan sama dengan menghina leluhur. Hutan adalah identitas budaya,” Yustina Ogoney.
Bintuni, suaradamai.com – Pemerhati Lingkungan Yustina Ogoney mengajak masyarakat adat untuk menjaga dan melindungi hutan dari berbagai aktivitas pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Terutama pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Ogoney menilai, pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, hanya akan membawa dampak negatif bagi masyarakat adat. Masyarakat adat, kata Ogoney, akan kehilangan ruang hidup, mata pencaharian, bahkan kearifan lokal dan identitas budaya.
Hutan, bagi Ogoney, lebih dari sekadar tempat mencari makan. Baginya hutan adalah napas terakhir. Hutan adalah ibu, sumber kehidupan. Karena itu, ia mengajak masyarakat adat agar tidak boleh gegabah, apalagi tergiur dengar bunyi miliar atau bahkan triliun.
“Kitorang tidak boleh tergiur dengan uang yang nilainya miliar-miliar atau triliun. Mendingan masyarakat adat ini kelola sendiri hutannya secara mandiri. Walaupun pemasukkannya hanya seribu dua ribu per hari, atau per minggu, atau per bulan. Tapi ada. Berlanjut. Setiap saat ada. Dari pada dikasih kepada pihak ketiga dalam jumlah nilai miliar atau triliun, kemudian habis dalam satu bulan. Itu yang kita jaga di situ,” ujar Ogoney, Rabu (24/9/2025).
Ogoney pun meminta pemerintah agar membatasi pengelolaan sumber daya alam hanya pada sumber daya yang ada di dalam perut bumi dan membiarkan hutan agar dikelola oleh masyarakat adat.
“Negara sudah kelola dalam perut bumi, lalu ikut mengelola yang di atas perut bumi. Mulai dengan pengambilan kayu. Setelah hutannya sudah gundul, kemudian ditanami kelapa sawit. Lalu masyarakat ini hidup di mana. Padahal satu-satunya sumber kehidupan ada di hutan adat itu,” ujar Ogoney.
Selain itu, Ogoney juga mendorong pemerintah pusat hingga pemerintah daerah agar dalam pengambilan kebijakannya harus mempertimbangkan keaifan lokal. Termasuk dalam urusan ketahanan pangan.
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diandalkan oleh pemerintah pusat dalam menjaga ketahanan pangan, kata Ogoney, baiknya berbasis pangan lokal. Bukan membuka lahan baru untuk sawah dan kelapa sawit.
“Sementara masyarakat lokal ini, mereka harus diberdayakan melalui perkebunan lokal. Sagu, buah merah, lalu pala, pinang, dan lain-lain. Itu kan bagian dari pangan lokal yang menghasilkan uang untuk masyarakat adat di daerah ini,” sebut Ogoney.
Sebagai contoh konkret, empat marga dari Suku Moskona, yakni Marga Masakoda, Yen, Yec, dan Ogoney, telah menginisiasi pembentukan Agromos – sebuah wadah pemasaran yang membantu penjualan pangan lokal seperti nanas, pala, dan buah merah.
Program ini dibantu oleh Samdhana Institute dan Transformer Plus Indonesia, dan menjadi model pengelolaan hutan lestari yang dapat meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat adat.
Hal seperti inilah, menurut Ogoney, yang diharapkan oleh masyarakat adat agar bisa mandiri secara ekonomi. Karena dengan begitu, pendapatan masyarakat tetap ada karena pengelolaan hutan dengan prinsip lestari dan berkelanjutan.
“Perkebunan kelapa sawit itu kan skala besar. Sementara masyarakat adat secara mandiri punya perkebunan nanas, buah merah, rica, dan lain-lain. Nah ini yang harus didukung oleh pemerintah. Didukung dari segi anggarannya, pelatihannya, bantuan rumah produksinya, atau pupuk dan lain-lain. Jangan terlalu fokus pada perizinan kelapa sawit atau perizinan penebangan hutan. Cukup lah,” tegas Ogoney.
Lebih dari itu, hutan, bagi Ogoney, bukan hanya sekadar sumber ekonomi, tetapi identitas dan jiwa. Hutan adalah Ibu, sumber kehidupan. Tanpa hutan kehidupan berhenti. Hutan adalah roh dan leluhur. Merusak hutan sama dengan menghina leluhur. Hutan adalah identitas budaya. Hutan adalah perpustakaan hidup dan ruang belajar. Hutan hilang, budaya hilang. Hutan adalah rumah. Hutan adalah bank. Hutan adalah tabungan masa depan anak cucu. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan anak cucu. Hutan bukan untuk dijual, tetapi untuk diwariskan bagi anak cucu.
“Saya yang sebagai ASN, saya merasa bahwa saya punya napas terakhir ada di hutan. Saya ASN tetapi saya punya rekening selalu kosong kok. Dan terakhir, tempat makan saya, pasti pulang [ke] mama punya kebun. Saya tidak berkebun, tetapi mama punya kebun. Tapi nanti pada saat saya pensiun pasti saya bikin kebun, karena sudah tidak ada alasan lain, saya mau dapat uang dari mana? Pasti dari kebun, dari hutan,” ungkap Ogoney yang juga adalah Kepala Distrik Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Editor: Labes Remetwa
Klik DI SINI untuk ikuti VIDEO BERITA dari Kabupaten Teluk Bintuni