Ada wabah lain yang sangat berbahaya, yaitu wabah diferensiasi.
Seperti yang kita ketahui bersama, wabah adalah istilah umum dalam suatu peristiwa atau kejadian tersebarnya penyakit pada suatu wilayah atau lingkungan yang kemudian menyerang masyarakat sekitar. Secara medis, wabah dipelajari dalam Epidemiologi, (epidemi dari bahasa Yunani Epi pada + demos rakyat) adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu periode populasi manusia dalam suatu wilayah.
Ohoi Wearlilir, nama sebuah desa di Kepulauan Kei. Letaknya di pesisir bagian timur Pulau Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Sebutan “ohoi” yang berarti desa dalam terminologi bahasa Kei.
Secara etimologi, Wearlilir terdiri dari dua suku kata yakni kata wear yang berarti air dan kata lilir yang merupakan sebutan untuk sejenis siput yang pada saat musim tertentu terdampar di pesisir pantai Ohoi Wearlilir. Dahulu sebelum ada timba atau sibur untuk mengambil air dari dalam sumur, kulit siput lilir inilah yang menjadi alat untuk mencedok air.
Bebicara soal “wabah”, musibah ini sudah pernah melanda leluhur Wearlilir sejak lebih dari satu abad silam atau kira-kira 120 tahun lalu.
Secara historis, Wearlilir merupakan ohoi yang terbentuk pada masa perpindahan sebagian kelompok masyarakat yang sebelumnya tinggal dan menetap di Ohoi Faan – yang masuk dalam kesatuan kelompok masyarakat adat Fau Ohoi Faak (marga Rettob, Rumangun, Renwarin dan Kebubun). Namun di kala itu, terjadi suatu musibah wabah kolera yang menyerang pemukiman Ohoi Faan (ketika itu kampung lama berada di Wirin. Sekarang lokasi Rumah Adat Faan).
Dampak dari musibah wabah kolera itu, sebagian masyarakat Ohoi Faan mengungsi untuk mencari tempat yang aman dan bebas. Inilah awal-mula para leluhur Ohoi Wearlilir meninggalkan Ohoi Faan yang kala itu secara berkelompok menurut marga, kerabat serta sanak saudara ke beberapa wilayah yaitu Nangan (Hutan) Lumun dan Wiv. Ada juga yang pindah ke Heniw (Pulau Dar) dan bahkan ke Ohoi Iso.
Seiring waktu menyelamatkan diri dari musibah wabah kolera, kelompok masyarakat yang berada di Nangan (Hutan) membutuhkan air dan garam untuk kelangsungan hidupnya. Terdorong oleh kebutuhan ini, maka dua orang leluhur dari marga Rettob menuju ke pantai untuk mencari sumber air dan garam. Perjalanan ke dua moyang ini dari hutan Wiv menuju pantai, berhasil tiba di pantai sebelah utara tanjung Tawlul. Di tempat itu kemudian mereka menggali sebuah sumur dan menemukan wear (air) sembari menggunakan lilir (kulit siput) untuk menimba air itu.
Setelah berakhirnya musibah wabah kolera, masyarakat saling mengimbau untuk kembali ke Ohoi Faan, namun ada sebagian kelompok masyarakat tetap tinggal karena trauma. Mereka berinisiatif membuat pemukiman baru tepat berdekatan dengan sumur Wearlilir. Setelah mereka bermukim di situ, datanglah sebagian kelompok masyarakat dari Heniw (Pulau Dar) dan Ohoi Iso untuk mendiami bersama Ohoi Wearlilir dan hidup rukun dan damai di dalam Rahim Woma El Hernar.
Berangkat dari singkat Histori Wabah Ohoi Wearlilir kala itu, dan di tengah konteks masyarakat hari ini, patut kita apresiasi kinerja perangkat ohoi serta semua elemen masyarakat yang bersinergi menangkal pandemi Covid-19 atau pada umumnya dikenal dengan Corona.
Dengan program pencegahan wabah Covid-19, berbagai upaya telah dilakukan oleh perangkat ohoi dan seluruh elemen masyarakat, baik dalam bentuk spiritual dengan ritual adat, hingga bentuk sosialisasi secara masif dan bahkan dilakukan pengadaan logistik berupa ember cuci tangan dan instrumen pendukung lainnya.
Tentu beberapa perihal ini merupakan langkah efektif dan kontributif dalam merespon problematika sosial hari ini yang cukup menuai resah masyarakat, lantaran penyebaran wabah Covid-19, yang menurut masyarakat Ohoi Wearlilir sangat “berbahaya”.
Teringat esensi Khotbah Romo Inno Renwarin di kala Mimbar Gereja Bunda Hati Kudus Waearlilir menjadi pusat Sabda Ilahi tepat Malam kunci tahun 2019 lalu, Romo menyampaikan; “ada beberapa wabah modern yang sangat berbahaya dari wabah-wabah sebelumnya di tengah Ohoi Wearlilir. Salah satu wabah yang sangat berbahaya adalah “wabah diferensiasi” tegas Romo Inno Renwarin.
Wabah diferensiasi merupakan wabah mutakhir yang perlahan merusak generasi Wearlilir dengan menyerang moralitas masyarakat. Ini kemudian berujung mengkotak-kotakan kelompok marga, serta membedakan masyarakat secara horizontal. Hal tersebut disebabkan karena kecenderungan melihat status sosial masyarakat dalam bentuk pembagian kelas masyarakat, status pekerjaan, dan kedudukan tinggi rendah jabatan adminstrasi.
Sejatinya, ada sebuah harapan besar yang kemudian menjadi tanggung jawab moral dan kesadaran secara kolektif bagi seluruh elemen masyarakat Ohoi Wearlilir. Bukan hanya dalam konteks hari ini bila mana kita cukup responsif terhadap bahaya wabah (Covid-19). Namun perlu adanya upaya menangkal “bahaya wabah-wabah lain yang merusak moralitas generasi wearlilir,” serta mencederai tatanan persatuan dan kerukunan Ohoi Wearlilir yang telah digenggam oleh para Leluhur kita sejak silam.
So, semoga Wearlilir kita dijauhkan dari “bahaya wabah-wabah lain yang merusak moralitas generasi Wearlilir” dan selalu dilindungi oleh Tuhan dan Leluhur. Amin.
Salam fangnanan!
Oleh Christian Rettob. (Penulis adalah kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ambon)