Catatan Rudi Fofid, Jurnalis di Ambon
Meskipun kulit badan berwarna gelap, sejatinya Orang Kei itu bersih jiwa, bersih badan, bersih lingkungan. Keadaan, sifat, dan sikap dasar Orang Kei yang bersih, bisa diverifikasi pada diksi-diksi, bahasa, cerita rakyat, hukum adat, dan praktik hidup. Jika nilai-nilai luhur itu dirawat secara telaten, maka potensi pariwisata akan menjadi berkah berlimpah bagi anak-cucu. Syaratnya, jangan kendor merawat hukum tertinggi: Larvul Ngabal.
Kita punya bertumpuk-tumpuk pulau yang dikenal sebagai Kepulauan Kei. Seluruh pulau sungguh apik, unik, eksotik, dan sempurna untuk dikelola sebagai kawasan pariwisata dunia. Keindahan natural adalah modal pertama. Pemerintah Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara tinggal membangun infrastruktur, instalasi, sistem, dan regulasi yang menghidupkan pariwisata.
Satu-satunya persoalan pelik di Kepulauan Kei adalah sampah plastik. Indonesia memang sedang dikepung sampah plastik. Produksi plastik tidak terbendung, fungsinya yang praktis, dan minimnya kesadaran pengguna, menyebabkan sampah plastik tersebar di darat, laut, sampai dasar laut. Sungguh pedih melihat terumbu karang cantik atau rumput hijau ubun-ubun (sea grass) ditimpa lembar-lembar plastik.
Evav Green dan Trash Hero adalah dua frasa popular di Tanah Evav. Aksi ini dipelopori kaum muda, koko famur yang sangat mayek. Berbahagialah sebab pada era globalisasi, yang materialistis dan hedonistis, para muda mau keluar dari zona nyaman. Mereka rela berkotor-kotor demi kebersihan. Selain Evav Green dan Trash Hero, ada juga Komunitas Kaki Bajalang, Pencinta Alam Keipala, PPSWPA Salam, dan lain sebagainya, yang mengekspresikan rasa cinta pada Bumi Larvul Ngabal dengan cara dan gaya mereka nan khas milenial.
Segala kegiatan Evav Green, Trash Hero, komunitas-komunitas pencinta alam, kelompok minat, sungguh mulia. Mereka layak diberi apresiasi tinggi atas perjuangan mewujudkan Tanah Kei yang bebas sampah. Selain itu, di balik upaya perang lawan sampah plastik, para muda sebenarnya sedang mewujudkan nilai luhur yang sudah dirintis leluhur Kei.
Wear Idar di Letman dan Danau Ablel di Ngilngof adalah satu kesatuan kisah tentang Nen Te Idar dan Ohoi Idar. Dalam legenda ini, Ohoi Idar bisa tenggelam menjadi Danau Ablel. Penduduknya menjelma menjadi buaya dan bebek. Amanat besar cerita ini adalah sampah bawa bencana, sebab itu, kita harus merawat kebersihan.
Kalau kita periksa lagi diksi-diksi dalam Vave Evav, kita kenal istilah “hilin, mahilin, hiling, mahiling, diten-maditen, ditin-maditin, maloon, brisi.” Kata-kata ini hampir seluruhnya menjelaskan dua hal yakni kebersihan fisik/badan, dan kebersihan psikis/jiwa.
Sungguh membanggakan bahwa Hukum Larvul Ngabal mengakomodasi nilai luhur: “Moryain vo mahiling”. Dalam hal ini, Larvul Ngabal memberi aksentuasi keluhuran, kesucian, kebersihan, kesehatan jiwa. Hal ini lebih spektakuler dibanding “mensana in corpore sano” yang mengagungkan fisik. Larvul Ngabal lebih sejalan dengan frasa Wage Rudolf Supratman dalam Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Pembangunan jiwa adalah utama. Moryain vo mahiling mengabadikannya secara indah.
Siapa yang hidup secara tidak bersih, baik fisik maupun psikis, badan pun jiwa, maka Orang Kei punya istilah “lislas” kepadanya. Kata-kata yang berlawanan dengan situasi mahiling juga dikenal dalam kosa-kata Orang Kei. Misalnya, karmom, katkud, larit, kavnaat, kalivan. Seluruhnya menggambarkan sampah dan kotor.
Demikianlah sikap dan sifat dasar orang Kei yang mahiling, yang menjaga kesucian tanah dan kesucian perilaku, adalah potensi kultural yang menjadi modal utama pariwisata. Dengan sikap dan sifat dasar ini, mari terus dengan semangat yang tidak pernah padam, merawat kampung, pulau, pantai dan laut. Batbatang fit roa fit nangan. Demikian pesan abadi Raja Maur Ohoivut JSP Rahail. Dengan begitu, Nuhu Tanat Evav akan terejawantah sebagai Tanat Fatnim, Tanat Susbeb. Sumber impian, harapan, mimpi, dan kesucian Orang Kei.
Ambon, 16 Januari 2020