Beranda Lintas Maluku Kepulauan Tanimbar Jaflaun Ingatkan Wattimury Jangan Giring Opini Publik Sesat

Jaflaun Ingatkan Wattimury Jangan Giring Opini Publik Sesat

0
Jaflaun Ingatkan Wattimury Jangan Giring Opini Publik Sesat
Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar Jaflaun Batlayery

Jaflaun menjelaskan, pengajuan Tanimbar agar ikut serta dalam pengelolaan PI 10 persen bukanlah ajuan tanpa dasar. Malah justru memiliki pijakan yuridis dan sosiologis.


Ambon, suaradamai –  Perseteruan antara Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) dengan Pemrov Maluku perihal Blok Masela masih belum ada titik temu. Hingga kini, keduanya masih saling rebut jatah dari Participating Interest (PI) 10 persen atas pengelolaan di tambang tersebut.

Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar Jaflaun Batlayery berkesimpulan, sikap dan pernyataan Ketua DPRD Maluku Lucky Wattimury dalam menyikapi aspirasi rakyat di daerahnya adalah keliru, tidak berbasis akademis dan memiliki analisis dangkal.

“Ketua DPRD Maluku tidak mampu menempatkan dirinya sebagai wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyatnya sendiri sehingga terkesan ompong,” ujar dia.

Jaflaun menyatakan, setelah menerima aspirasi rakyat Tanimbar, Lucky dengan komisi terkait akan mengkaji sesuai ketentuan. Namun, ketentuan yang diambil tidak berdasarkan kajian secara komprehensif dengan dasar argumentasi kuat berbasis akademis. DPRD malah berkoordinasi dengan Dinas ESDM, Karo Hukum dan PT. Maluku Energi Abadi.

“Pertanyaannya, DPRD itu wakil rakyat atau pemerintah? Karena itu, bagi kami ini adalah tindakan salah kaprah dan tidak pada tempatnya.

“Awalnya kami menduga, DPRD akan mengundang pakar hukum dari Unpatti sesuai dengan janji Ketua DPRD Maluku saat itu guna memberi perspektif, argumentasi akademik yang kuat dan ilmiah,” Tegas Jaflaun.

Permintaan DPRD KKT agar Tanimbar diusulkan menjadi daerah penghasil atau terdampak, dianggap Lucky sebagai saran yang bertentangan dengan UU karena tidak ada regulasi yang mengatur. Bagi Jaflaun, anggapan Lucky ini telah menggiring opini publik. Seolah-olah, aspirasi rakyat tanimbar merupakan aspirasi yang menabrak aturan.

“Padahal tidak. Perjuangan untuk mendapat pengakuan sebagai daerah penghasil dan terdampak berpijak dari Kepres tentang skema pengembangan onshore yang akan berlokasi di daratan Pulau Yamdena, sehingga paradigma Industri Migas bukan saja offshore sebagaimana yang kita kenal sejauh ini, tapi juga paradigma onshore,” Ujar dia.

Atas dasar itulah, Politisi Partai Demokrat asal Dapil 3 itu menegaskan, Tanimbar akan menjadi daerah penghasil dan terdampak. Hanya saja belum ditetapkan Kementerian ESDM.

“Karena itu, kami menyampaikan aspirasi ini untuk menjadi bagian perjuangan bersama DPRD Maluku agar dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM. Yang kami maksudkan sebagaimana pasal 17 Permen ESDM itu, adalah karena terdapat ruang tafsir yang berbeda, apakah BUMD Provinsi atau BUMD Kabupaten/Kota, atau bersama-sama,” tegasnya.

Dasar Pengajuan PI 10% di Tanimbar

Jaflaun menjelaskan, pengajuan Tanimbar agar ikut serta dalam pengelolaan PI 10 persen bukanlah ajuan tanpa dasar. Malah justru memiliki pijakan yuridis dan sosiologis.

Pertama, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pempus dan pemda menjamin frasa daerah penghasil, dalam urusan alokasi anggaran pembangunan yang bersumber dari pengelolaan SDA Migas. Sehingga Tanimbar butuh penetapan Kementerian ESDM bila Tanimbar adalah daerah penghasil yang merujuk pada skema pengembangan Blok Masela secara Onshore.

Onshore merupakan pekerjaan struktur yang dibangun di daratan (mulai dari pantai), dengan sebagai penopang kegiatan proses eksplorasi dan eksploitasi umumnya untuk Minyak dan Gas Bumi. Contoh pekerjaan Onshore adalah rig, sumur bor minyak maupun gas bumi di daratan,” tegas Jaflaun.

Kedua, secara sosiologis, tanimbar telah menyerahkan lahan untuk pengembangan Blok Masela dan siap menerima resiko akibat dampak yang ditimbulkan, dari aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya maupun aspek lingkungan.

Masa, dengan meminta bagian untuk berpartisipasi dalam pengelolaan PI 10 persen karena telah menyerahkan lahan dianggap menabrak aturan? Kita di Maluku ini sangat kental dengan adat dan budaya. “Mau maso minta orang pung sodara perempuan itu mesti bawa harta.” Saya justru khawatir, Ketua DPRD Maluku sudah lupa tentang adat dan budaya orang Maluku,” tutup dia.

Editor: Petter Letsoin


Baca juga:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini