Di sebelah utara, ada deretan makam bersalib berjejeran di samping kiri kanan. Pemandangannya cukup misteri, namun berharga, sekadar untuk napak tilas.
Saya baru seminggu lebih merantau ke Jakarta, dengan ongkos yang terbatas saya tinggal di 1 unit kecil Apartemen Kalibata city. Dari tempat tinggal kami, kira-kira 300 meter sebelah kiri, ada tulisan besar terpampang “Makam Pahlawan Utama Kalibata”. Sebagai orang baru hatiku riang memang ingin berziarah ke sana. Lalu atas restu alam hari itu, saya bersama beberapa rekan asal Kepulauan Kei berizarah ke Makam para Pahlawan.
Dari gerbang depan, semerbak kamboja tercium seakan menyambut kedatangan kami. Seperti biasa, kami harus melapor diri lalu membeli kuntum bunga, selanjutnya diantar menuju pusara para pejuang.
Di sebelah utara, ada deretan makam bersalib berjejeran di samping kiri kanan. Pemandangannya cukup misteri, namun berharga sekadar untuk napak tilas.
Kami dengan penuh antusias membaca satu demi satu pusara itu hingga sampailah di deretan makam nomor 73.
Lalu si penjaga makam itu berujar, “Ini makam KS. Tubun.”
Seketika itu suasana diam membising, burungpun berhenti berkicau. Tiba-tiba suasana pecah. Isak tangis sahabat di sebelahku mulai terdengar.
Aku pun terbawa dalam suasana itu. Air mata kami tak bisa dibendung. Tangan kiri dan kanan bergantian mengusap keluar air mata yang terus menetes.
Saya dan sahabat Gerenz tunduk merenung, sedangkan sahabat Enrique dengan suara terbata-bata seperti memanjatkan doa.
Lalu berucap dalam bait-bait puisi:
Ternyata kau di sini Paman
Dari tanah leluhurmu
Kau dikirim mati
Kau korban keganasan G30S PKI
Kau hanya Prajurit kecil tetapi bernyali besar.
Hari ini, kami berdiri di depan mu dengan penuh bangga,
Karena kau membuat sejarah besar
Namamu tercatat di mana-mana
Dalam cerita Anak Bangsa
Kau jadi bukti bahwa Kei turut berjuang untuk Indonesia.
Sementara berucap hujan gerimis mulai turun lalu diikuti hujan deras. Kami bergeser ke sebuah tempat berteduh yang memang disediakan.
Rupanya alam sedang menahan kami untuk merenung dan terus bercerita lebih lama dengan almarhum. Dua jam di situ. Kami kemudian akhiri ziarah itu dengan berdoa bersama.
Semoga Kaum muda Kei di mana saja bisa melanjutkan perjuanagan Opa, Bapa, Paman tercinta. “Dalam Nama Bapa, dan putera, dan Roh Kudus, Amin,” tutup Enrique dalam doanya.
