Tim peneliti menemukan setidaknya ada tujuh tren pergeseran nilai dari budaya penangkapan Tabob.
Langgur, suaradamai.com – Tradisi penangkapan Tabob atau penyu belimbing (Dermochelys coriacea) oleh masyarakat adat Nufit (Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara) mulai terdegradasi.
Degradasi tradisi inilah yang kemudian mengancam kepunahan Tabob. Ini merupakan hasil kajian tim peneliti WWF Indonesia yang diketuai Anton Ohoira. Anton dan kawan-kawan melakukan penelitian pada Maret-April 2020 lalu.
Mereka menemukan setidaknya ada tujuh tren pergeseran nilai dari budaya penangkapan Tabob, yakni degradasi pada sisi historis atau sejarah; kepercayaan atau keyakinan; musyawarah mufakat; kekerabatan, kebersamaan, dan gotong royong; seni atau estetika; etika, moral, dan hukum; kesejahteraan, keadilan, pemerataan, dan transparasi.
Dari sisi sejarah, dulu masyarakat Nufit memahami secara utuh dan rinci tentang eksisitensi tabob, dari yang tua hingga yang muda tahu sejarah tradisi tabob dan memandang tabob sebagai kepunyaan bersama. Sekarang masyarakat Nufit hanya memahami tradisi tabob sebagai barang pusaka. Barang pusaka ini dimaksudkan adalah milik bersama yang setiap masyarakat Nufit memiliki hak makan dan hak kelola secara terbuka.
Kemudian dari sisi kepercayaan atau keyakinan, dulu wajib mengangkat doa adat (sirih pinang) di lokasi keramat sebelum menangkap tabob dan ritual voor yaf setelah penangkapan tabob. Sekarang penangkapan dilakukan oleh kelompok eksklusif sehingga jarang dilakukan voor yaf. Bahkan kelompok insidentil sama sekali tidak melakukan ritual baik voor yaf maupun doa adat.
Nilai musyarawah mufakat dilihat dari proses perencanaan dan persiapan yang dilakukan bersama sebelum ritual tradisi tabob. Ini dilakukan bersama para pria yang dipilih ikut serta dan diketahui masyarakat serta tokoh adat terkait. Kondisi sekarang, proses ini menjadi relatif, ada yang masih melakukan proses perencanaan dan persiapan dengan baik, seperti di Ohoi Ohoidertom, Madwaer dan Ohoiren. Sedangkan ada beberapa ohoi yang sudah dibuat eksklusif oleh kelompok sendiri, seperti yang terjadi di Ohoi Somlain, Ohoidertutu dan Ohoira.
Kemudian nilai kekerabatan, kebersamaan, dan gotong royong dilihat dari kebiasaan dulu yang menggunakan perahu tradisional (habo). Ini memunculkan rasa senasib sepenanggunan saat bersama mendayung habo untuk menangkap Tabob. Hari ini, semua sudah menggunakan sarana modern seperti speed boat/long boat, sehingga nilai kekerabatan, kebersamaan, dan gotong royong mulai tergerus.
Kemudian dari sisi seni atau estetika, kepariwisataan juga mulai terdegradasi. Biasanya para nelayan menyanyi dan juga menari saat kembali manakala mendapat Tabob, namun sekarang jarang ada nyanyian dan tarian adat yang dilakukan baik pelakunya kelompok eksklusif ataupun adat.
Tradisi awal dimana ada keterlibatan lembaga adat seperti heman vul dalam proses doa sebelum pemotongan Tabob dan tuar di pada saat pemotongan serta pembagian tabob menunjukkan masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai etika, moral, dan hukum. Sekarang, nilai-nilai itu sudah mulai luntur dengan kondisi orang yang melakukan pelanggaran dapat ikut serta dalam menangkap tabob dan kelompok non tradisional sering tidak melibatkan lembaga/tokoh adat sehingga pemotongan dan pembagian tidak dilakukan di Siran.
Terakhir, nilai kesejahteraan, keadilan, pemerataan dan transparansi juga tergerus. Dulu Tabob selalu dibawa ke Siran untuk dipotong dan dibagikan kepada masyarakat, namun sekarang Tabob hanya dibagikan kepada para nelayan yang melakukan penangkapan (terutama yang dilakukan oleh kelompok non tradisional).
Anton menyebutkan, pergeseran ini terjadi karena tiga hal, yakni kurang pengetahuan sejarah-adat, mengutamakan konsumsi, dan masuknya perubahan global.
Kembali ke cara leluhur
Untuk mengatasi ancaman kepunahan Tabob, Pemuda Ohoi Ohoidertutu Roy Ngamelubun punya ide yang baik. Pada acara yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku di Ohoidertutu, pada Selasa (23/3/2021), Roy berpendapat bahwa salah satu cara untuk mengatasi penangkapan Tabob yang berlebihan adalah kembali ke cara leluhur.
Maksud dia adalah, melakukan seluruh tahapan proses dari persiapan hingga pembagian hasil tangkapan dilakukan secara tradisional. Harus ada ritual adat sebelum dan sesudah penangkapan, mengggunakan habo (perahu tradisional), dan seterusnya.
Dengan melakukan ini, kata Roy, penangkapan Tabob pasti berkurang, sehingga populasi Tabob di perairan semakin banyak. Ini kemudian juga akan mendukung pariwisata. Ketika ada wisatawan yang datang, mereka bisa bersama-sama menangkap Tabob secara tradisional. Dengan demikian, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Nufit. Lebih dari itu, nilai budaya penangkapan Tabob bisa hidup kembali.
Di kesempatan berbeda, Pemuda Madwaer Stef Rumohoira mengajak seluruh pemuda Nufit untuk segera berdiskusi dan mengabil langkah terkait pelestarian Tabob.
Untuk diketahui, WWF Indonesia mencatat, pada tahun 2017 sebanyak 103 individu yang ditangkap, di tahun 2018 sebanyak 24 individu, tahun 2019 sebanyak 4 individu, tahun 2020 sebanyak 11 individu, dan tahun 2021 hingga Maret sebanyak 13 individu.
Editor: Labes Remetwa
Ada tiga manfaat sekaligus jika tradisi penangkapan Tabob dihidupkan kembali, yakni dari sisi ekonomi, lingkungan, dan budaya.
Baca juga: