Sambil berjalan, saya berteriak dalam hati. “Suangyabar e. O mdo, u taha mu kamam e!”
Di bawah pohon randu yang buahnya bergelantungan, kami kakak-beradik selalu duduk saban senja. Kami menikmati beribu-ribu burung di angkasa. Mereka terbang berkelompok dari arah Pulau Yut, dan kelak kembali ke Pulau Er dan Pulau Ngodan.
Bila beduk Masjid Attaqwa Watdek sudah berbunyi, sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Inilah saat-saat mendebarkan. Dari bibir pantai, kami akan memandang ke seberang Selat Rosenberg. Di sana, ada Jembatan Wearhir. Dari hutan wakat di sekeliling jembatan, pasti muncul satu kobaran obor.
“Lihat, mereka sudah muncul,” teriak kakak saya, Ceselia.
Mata kami tertuju dan penuh suka cita ketika obor itu membelah diri menjadi dua. Dua obor itu bergerak ke tengah laut, membelah diri menjadi empat sampai delapan. Kalau sudah begitu, mereka akan membuat beragam konfigurasi. Ada gerak melingkar, memanjang, dan gerak acak lainnya.
Tidak jarang, semua obor itu redup bahkan hilang sama sekali, manakala sampan nelayan dengan lampu petromaks melintas di situ. Akan tetapi, tidak lama kemudian, satu per satu obor itu mendadak bernyala lagi dari tempat terpisah. Bayang-bayang seperti tubuh dan kepala manusia bisa terlihat dari jauh. Mereka bahkan kemudian mengepung sampan nelayan.
Itulah tontonan kami, anak-anak Watdek di bibir pantai Selat Rosenberg. Obor-obor itu, bukan manusia-manusia nelayan, melainkan kaum suangyabar. Kaum obor ini adalah hantu laut, sahabat setia para nelayan. Di mana ada ikan dan nelayan, di situ ada suangyabar.
Saya menikmati keakraban dan kemesraan dengan suangyabar ini antara tahun 1970 sampai 1976. Kami berpisah bertahun-tahun karena ayah memboyong kami ke Bacan, Halmahera Selatan.
Tahun 1989, dalam perayaan 100 tahun kembalinya Gereja Katolik di Maluku, saya ke Kei, tanah yang sudah 13 tahun saya tinggalkan. Saya kembali ke bibir pantai Watdek pada malam hari, melihat ke seberang sana, saya tidak melihat sahabat-sahabat obor. Satu jam setelah saat magrib, hanya malam kesepian yang saya saksikan.
Lima tahun kemudian, saya sudah menjadi wartawan dan melakukan liputan di Kei. Lagi-lagi saya duduk di Watdek memandang ke Wearhir di seberang sana, saya tidak melihat apa-apa. Di manakah suangyabar tercinta? Saya merasa ada yang hilang. Saya merasa ada semacam rasa rindu. Andai saya mendapat kesempatan bertemu suangyabar lagi, saya akan pergi memeluknya dengan segenap cinta.
Tahun 2000, saya sudah menikah. Saya membawa Keety Renwarin, istri saya, ke Watdek. Saya menceritakan rasa rindu pada suangyabar, dan Keety merasa iba kepada saya.
Saking penuh rasa kehilangan, saya kemudian pergi pada siang hari ke Jembatan Wearhir. Sungguh pilu saya menyaksikan pohon-pohon wakat sudah ditebang. Ada rumah-rumah baru tumbuh di situ. Bangkai kapal, dan badan perahu terlihat acak di muara.
Saya berdiri di atas jembatan beton. Dulu, jembatan ini terbuat dari kayu. Sabahat ayah asal Taar, Om Songyanan, pernah melintas di atas jembatan ini pada malam hari, di atas jam 12.00 malam. Om Songyanan terkejut sebab ada bara api dikibas-kibas di atas jembatan, menghalangi langkahnya. Om Songyanan merasa serba salah. Maju salah, mundur malu. Maka Om Songyanan cuma bisa berkata:
“Permisi, permisi!”
Bara api itu kemudian menepi. Om Songyanan melangkah maju. Ada dua tubuh hitam besar berdiri di sisi kiri dan kanan jembatan. Sekali lagi ia minta permisi. Om Songyanan merasa hendak melayang ketika mendengar suara gelegar.
“Hmmmm…” Begitu suara dari kiri dan kanan.
Kami tidak takut mendengar cerita Om Songyanan. Justru kami merasa cemburu sebab Om Songyanan mendapat kesempatan bisa bertemu Suangyabar.
Ayah saya tidak mau kalah. Ia berkisah, ketika buang jaring pada malam hari, tiba-tiba ada guyuran air dari atas kepala. Ayah mengangkat wajah. Oh mama. Ada sebentuk tubuh besar sedang kencing ke arah kepala ayah.
“Begitu saya melihat dia, dia langsung tertawa dan menghilang,” kenang ayah.
Kami memang tidak takut pada suangyabar. Kami justru rindu berada di dekat mereka. Apalagi, ada cerita nelayan, bahwa bila bertemu suangyabar, tangkap saja burungnya. Dia pasti menyerah dan berjanji akan membantu menangkap ikan. Sebab itu, kalau ada nelayan pulang dengan tangkapan ikan yang banyak, kami percaya, dialah sahabat sejati suangyabar. Dia pasti pernah menangkap batang leher burung suangyabar.
Saya melangkah meninggalkan Jembatan Wearhir. Saya merasa telah kehilangan satu bagian hidup saya. Suangyabar. Semua ini karena istana mereka dihancurkan. Manusia telah menyerobot ruang hidup mereka.
Sambil berjalan, saya berteriak dalam hati. “Suangyabar e. O mdo, u taha mu kamam e!”
Tulisan ini bukanlah sebuah kisah horor melainkan sekadar menceritakan relasi natural antara manusia, mangrove, dan penghuni gaib yang terbukti dikenali masyarakat pesisir pantai.
Saya percaya, ketika hantu laut suangyabar masih bermukim di hutan wakat, di situ habitat masih tetap perawan. Ikan dan udang, siput dan rumput laut ubun-ubun nan hijau, adalah komponen lingkungan yang merawat keseimbangan alam.
Hutan keramat, pamali, fulfulik, semuanya hanyalah bahasa leluhur yang dalam terminologi modern dibahasakan sebagai konservasi dengan diksi penting yakni “lestari”.
Salam suangyabar!
Kafe Fid Tilus, Kolser, 8 Agustus 2018
Terimakasih Opa Rudy, kisah yang sangat hebat dengan literasi yang hebat dalam menuturkan cerita…