Pejabat pemerintah joget meriah nan euforia di atas derita rakyat, tepat pada peringatan HUT Provinsi Maluku di Gedung Rakyat Maluku.
Usia senja Provinsi Maluku yang ke-75 sebenarnya telah memberi arah positif akan kesejahteraan dan mampu membebaskan Maluku dari pasung kemiskinan, seraya adanya langkah-langkah strategis dalam pemulihan ekonomi, pendidikan dan kesehatan sebagai sarana untuk menuju tercapainya puncak kesejahteraan. Namun potret sosial yang terjadi hari ini tidak sejalan dengan ekspetasi publik dan justru menuai kekecewaan. Mengapa demikian? Di tengah maraknya fenomena Covid-19 yang tak berujung ini ternyata ada beberapa sikap absurd yang dilakukan oleh sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Maluku dan sejumlah Anggota DPRD Provinsi Maluku yang turut bersama dalam joget meriah nan euforia di atas derita rakyat tepat pada peringatan HUT Provinsi Maluku di Gedung Rakyat Maluku.
Baca juga: Kepulauan Kei di Tengah Kebijakan Publik dan Pandangan Masyarakat Adat
Pemerintah Provinsi Maluku seakan-akan acuh tak acuh akan Intruksi Peresiden RI yang begitu antusias dalam upaya penanganan Covid-19. Apalagi dalam peristiwa ini turut diiringi oleh nyanyian merdu seorang Sekertaris Daerah Provinsi Maluku juncto Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Maluku.
Apabila tindak penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power) seperti ini dilakukan maka sudah barang tentu perlu diberi sanksi administrasi berupa kode etik sesuai Ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, serta perlu adanya sanksi moral berupa penegasan dari Kepala Pemerintahan Provinsi Maluku dan Pimpinan DPRD Provinsi Maluku.
Baca juga: Harta I Bloer Ne Minan I Umat
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 (Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014) tentang Pemerintah Daerah, kemudian Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Dan yang terbaru Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2018 tentang Pejabat Sekertaris Daerah. Sekretaris Daerah secara normatif didefinisikan sebagai “perangkat daerah,” yang diisi oleh ASN. Maka, secara administrasi kedudukan sekda bukan pejabat negara, melainkan aparatur.
Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang ASN pada Pasal 3 menyatakan bahwa setiap ASN dalam menjalan tugas dan profesinya harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang di antaranya adalah nilai dasar serta kode etik dan perilaku. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang dapat diartikan sebagai standar perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat dan bertanggung jawab.
Ketika seseorang memilih karir hidupnya sebagai seorang Aparatur, maka sejatinya ia telah menjadi bagian dari kekuasaan yang tindak tanduknya berimplikasi terhadap kepentingan masyarakat luas. Masyarakat memiliki besar harapan dan tuntutan sosial kepada pemerintah untuk menjawab setiap kesenjangan dan keresahan masyarakat itu sendiri. Bkan malah berperilaku absurd dan kurang etis yang akhirnya manjadi sorotan publik.
Baca juga: Berbicara Soal “Wabah”, Wearlilir Punya Cerita
Ekspektasi publik yang tinggi terhadap pejabat pemerintahan serta wakil rakyat, jika berbanding terbalik dengan perilaku yang ditunjukkan oleh mereka, sudah pastinya pejabat pemerintahan akan kehilangan kredibilitas dan wakil rakyat pun akan kehilangan elektabilitas dan akhirnya turut melahirkan sinisme dan sarkasme publik. Lebih jauh publik akan menilai pemerintah bukan lagi dianggap sebagai solusi atas permasalahan masyarakat. Oleh karenanya, perlunya kita berefleksi kembali bagaimana pentingnya kita mengetahui etika dalam kekuasaan.
*Opini ini merupakan tanggungjawab penulis seperti tertera, bukan menjadi tanggungjawab redaksi Suaradamai.com