Oleh Fredy Rahalus, Kadiv Hukum LPPAM
Proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas minimal pencalonan presiden (presidential nomination threshold), yang sekian lama dilakukan baik dari kalangan akademisi, politisi, aktivis hingga mahasiswa, akhirnya menuai angin segar setelah Judicial Review yang ke-30 kali ditolak.
MK Akhirnya mengabulkan dan memutuskan penghapusan presidential nomination threshold dengan membacakan empat putusan terkait Judicial Review atas presidential nomination threshold pada Kamis, 2 Januari 2025 lalu, yakni: (1) Perkara No. 62/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Enika Maya Oktavia, dkk. (2) Perkara No.67/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Dr. Dian Fitri Sabrina, dkk. (3) Perkara No.101/PUU-XXII/024 dengan pemohon Hadas Nafis Gumay, dkk. (4) Perkara No.129/PUU-XXII/2023 dengan pemohon Gugum Ridho Putra.
Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 merupakan Judicial Review yang ke-34 terhadap pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan tersebut adalah jawaban atas harapan akan sistem politik yang lebih inklusif dan kompetitif. Setelah DPR merevisi UU Pemilu maka setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan anggotanya sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu mendatang. Hal ini sebagai pintu masuk bagi para pemimpin potensial dari berbagai latar belakang tanpa terkunci oleh dominasi Oligarki Politik maupun dominasi partai besar agar bisa berkompetisi di Pemilu mendatang.
Dalam ratio decidendi–nya, MK menyatakan pengaturan terkait presidential nomination threshold 20% sebagaimana diatur dalam pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mereduksi dan membatasi hak politik warga negara maupun partai politik selaku peserta pemilu. Kemudian MK juga menyatakan bahwa terkait pemberlakuan Presidential nomination threshold bertentangan dengan pasal 64 ayat (2) UUD 1945 juga tidak sesuai dengan semangat perubahan konstitusi, terutama pengaturan terkait kedaulatan rakyat.
Jika kita menelisik lebih jauh dalam UUD 1945, tidak ada satu pun ketentuan di dalam UUD 1945 yang mengatur terkait berapa persen presidential nomination threshold sehingga sudah sepatutnya MK menghapus presidential threshold.
Berikut bunyi Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu “Bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perolehan kursi di DPR atau perolehan suara sah merujuk pada hasil pemilu anggota DPR terakhir, baik untuk partai politik yang mempunyai kursi di DPR maupun yang tidak mempunyai kursi di DPR.
Jika kita menengok negara yang menganut sistem presidensial seperti Irlandia, misalnya. Presidential nomination threshold yang diterapkan oleh Irlandia harus didukung oleh 20 kursi di DPR atau 4 anggota senat, atau didukung sekurang-kurangnya 4 dari 31 anggota Dewan Lokal. Pilihan ambang batas yang digunakan Irlandia beragam dan tidak berfokus pada kekuatan partai politik karena melibatkan pilihan dukungan dari kursi parlemen, senat dan dewan daerah. Di Indonesia yang terfokus pada kepemilikan kursi hasil Pemilu di DPR.
Putusan MK diharapkan mampu menguatkan esensi demokrasi dan menghadirkan berbagai pilihan politik yang lebih beragam dan mampu mewakili kepentingan rakyat secara luas tanpa terkekang oleh dominasi Oligarki Politik, sebagaimana telah dipraktekan oleh Jokowi di era pemerintahannya. Partai politik berperan sebagai lembaga demokrasi yang berfungsi untuk menyiapkan kader-kader yang mumpuni dan memiliki kapasitas dalam menduduki posisi kepimpinan negara. Terbukanya peluang untuk Partai Politik mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada pesta demokrasi pada tahun 2029, diharapkan menjadi persaingan yang sehat dan terbuka. Pada titik inilah kita berharap ada regenerasi kepemimpinan berdasarkan kapasitas, kapabilitas, dan rekam jejak calon pemimpin.
Oligarki politik digunakan sebagai cara menunjukan pengaruh orang kaya yang berkuasa dalam politik dan pemerintahan untuk memupuk keuntungan pribadi sebagai contoh putusan 90 /PUU-XII/2023 yang meloloskan Gibran menjadi Cawapres dalam kontestasi pemilu 2024 lalu. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya berhasil menyingkirkan kekuasaan segelintir orang yang super kaya yang sejak Aristoteles disebut Oligarki.
Pada akhirnya kita kembali melaksanakan proses demokrasi yang konstitusional agar bisa dapat menghadirkan kebaikan bersama (bonum commune) bagi seluruh rakyat Indonesia dan pada akhirnya seperti adagium Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae yang bermakna “Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.“
*Opini ini merupakan tanggungjawab penulis seperti tertera, dan bukan merupakan tanggungjawab redaksi Suaradamai.com