Sekelompok pria kulit putih kemudian ditarik paksa keluar dari dalam ruangan dengan posisi tangan terikat. Dengan mata tertutup, mereka diperhadapkan dengan kepungan moncong senjata, lalu dorr…… Sementara itu, keluar dari mulut Pastor Berns sebuah pekikan lantang penuh iman, “Untuk Kristus Raja Kita, Jadilah!” Darah mereka kemudian terpancar kencang ke tanah, dan terbujur kaku tanpa nyawa.
Langgur, suaradamai.com – Bupati Maluku Tenggara M. Thaher Hanubun menyebut terpilihnya Mgr. Seno (Inno) Ngutra sebagai Uskup Diosis Amboina, merupakan berkat dari darah para martir yang tumpah di tanah Kei sekitar 80 tahun yang lalu.
“Darah martir itu selalu menyuburkan iman umat. Kita rasakan dan alami, di tanah Evav ini, Bapa Uskup Yohannes Aerts dan para pastor yang ditembak mati oleh tentara Jepang, telah menyuburkan panggilan,” ujar Bupati dalam sambutannya pada perayaan syukuran episkopal Uskup Seno Ngutra di Stadion Maren Langgur, Minggu (15/5/2022).
“Sehingga dari tanah ini, lahir banyak suster, pastor, frater, bruder, dan tiga uskup, yakni Uskup Yosep Tethool dari Ngilngof, Uskup John Saklil dari Ohoiel, dan sekarang Uskup Inno dari Waur,” imbuh Thaher.
Menurut Bupati, tahbisan uskup bukan hanya berkat bagi umat di Ngilngof, Ohoiel, atau Waur saja. Namun, berkat bagi umat Maluku dan Maluku Utara secara umum. Lebih khusus umat Maluku Tenggara dan Kota Tual.
Bupati merasa terberkati karena dalam masa pemerintahannya bersama Wakil Bupati Petrus Beruatwarin, persitiwa pentahbisan ini terjadi. Bagi Bupati, terpilihnya Pastor Inno sebagai Uskup Diosis Amboina menjadi momen yang tak terlupakan.
“Sebagai orang beriman, saya percaya, bahwa ini bukanlah kebetulan, tetapi semuanya dalam rencana Tuhan,” ujar Bupati.
Tragedi 30 Juli 1942
Suaradamai.com pada 30 Juli 2020 menulis, berawal dari tinta Emas Adolf Langen, Misi Gereja Katolik diterima oleh Warga Kampung Langgur di bawah pimpinan Januaris Mamten Renyut yang adalah Raja Fa Ohoisiuw, yang juga dianugrahi tongkat perak oleh Ratu Belanda, Wilhelmina.
Layaknya Vatikan Kecil, Langgur kemudian jadi Pusat Misi Gereja Katolik dan berkembang pesat hingga pesisir Selatan Papua bahkan Fiji, Kepulauan Salomon, Australia dan Selandia Baru. Kemudian tahun 1942, Jepang masuk di Maluku dan melululantakan misi Katolik.
Hari itu, tanggal 30 Juli 1942 sebelum suara burung bersukacita menyambut mentari, saat warga masih pulas tertidur. Saat itu pula tentara Nipon Jepang menjalankan hukumannya tanpa sebuah proses peradilan resmi.
Dari arah pemukiman Watdek, hentakan kaki serdadu terdengar bergerak melewati jalan berumput menuju kampung Langgur. Berhadapan di pos penjagaan kampung Langgur Mathias Dumatubun tewas tertembak tanpa ada tanya.
Serdadu Jepang itu mulai melakukan penggeledahan di rumah kepala Kampung Agustinus Renyut, pewaris Tahkta Bapaknya Januaris Mamten Renyut. Tangan-tangan tak kelihatan mulai mengatur jurus berikutnya. Tentara Nipon itu kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan secara membabi buta menggencarkan aksi kejinya.
Tak terima dengan itu, Hendrikus Ladjaran Dumatubun yang muda kekar kemudian mencoba membuat perlawanan. Namun naas, nasibnya di ujung bedil. Suara bedil itu memecahkan kesunyian. Kampung Langgur mulai mencekam. Warga berlari bersembunyi dan minta perlindungan. Terdengar suara Ibu-ibu yang menjerit dan anak-anak yang panik mencari orang tuanya.
Mereka kemudian menuju sebelah pantai. Sekelompok pria kulit putih kemudian ditarik paksa keluar dari dalam ruangan dengan posisi tangan terikat. Mereka diantar kemudian membentuk barisan panjang. Dengan mata tertutup, mereka diperhadapkan dengan kepungan moncong senjata, lalu dorr……
Sementara itu keluar dari mulut Pastor Berns sebuah pekikan lantang penuh iman, “Untuk Kristus Raja Kita, Jadilah!” Darah mereka kemudian terpancar kencang ke tanah, dan terbujur kaku tanpa nyawa. Dengan tega mayat mereka dibuang ke laut, terapung hingga berhari-hari lalu membusuk.
Mayat yang berserakan itu adalah Mgr. Johanis Aerts mengenakan Jubah Merah kebesaran ditemani 12 pria perkasa dengan balutan jubah hitam yang mendaraskan rosario di dadanya.
Belum selesai sampai di situ, kelompok nipon mendatangi biara susteran. Dengan bahasa tak jelas tetapi nada tegas mendobrak pintu, memaksa masuk kemudian menghunus bayonet membantai para suster tanpa ampun.
Terdengar suara jeritan kematian melengking, menyayat menembus pagi yang masih buta. Dewa kematian rupanya masih berpesta pora merasuki jiwa para serdadu nipon yang bengis. Jasad-jasad tak berdosa itu diseret dan lempar tak beraturan ke halaman.
Editor: Labes Remetwa
Baca juga: